JAKARTA – Kebijakan resiprocal tarrif yang diterapkan Presiden AS Donald Trump menjadi tantangan baru bagi sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia seperti minyak sawit, karet, dan kakao. Pengenaan tarif tambahan 32% bagi produk dari Indonesia yang akan diekspor ke Amerika Serikat harus dihadapi dengan peningkatan kualitas dan produktivitas komoditas ekspor tersebut.
Meski akan dihadang tarif bea masuk yang mahal ke AS, kakao tetap berpotensi menjadi salah satu komoditas perkebunan unggulan ekspor Indonesia, selain minyak sawit dan karet.
Permintaan global akan produk kakao terus meningkat. Pada tahun 2024, ekspor kakao dari Indonesia ke Amerika Serikat menunjukkan nilai USD411,5 juta pada 2024. Besarnya nilai ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, menjadi sinyal positif bagi petani/eksportir untuk tetap menjadikan Amerika Serikat sebagai negara tujuan ekspor.
Baca Juga: Kemenangan Trump Ciptakan Goncangan Pasar Minyak Nabati Dunia
Amerika Serikat menjadi negara kedua terbesar dalam konsumsi cokelat yaitu sekitar 19,8 ton cokelat dikonsumsi per tahun oleh penduduk Amerika Serikat. Hal ini menjadi peluang ekspor bagi negara-negara penghasil kakao.
Sayangnya produktivitas tanaman kakao di Indonesia masih rendah. Perlu sinergi antar seluruh pemangku kepentingan agar kakao Indonesia kembali berjaya di pasar dunia. Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) siap mendukung peningkatan produktivitas tanaman kakao.
Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) memaparkan fakta bahwa permintaan kakao di pasar dunia terus meningkat. Saat ini, dunia mengalami kekurangan komoditas kakao akibat turunnya pasokan dari dua negara produsen dan eksporter utama kakao dunia yaitu Ghana dan Pantai Gading.
Baca Juga: BPDP Dukung Pengembangan Industri Hulu-Hilir Kakao
“Produksi kakao dari Ghana dan Pantai Gading turun karena adanya serangan penyakit Cocoa Swollen Shoot Virus. Jadi banyak pohon kakao yang mati karena penyakit ini, selain juga (penurunan produksi) dipicu oleh faktor cuaca,” kata Soetanto Abdullah, Ketua Umum Dekaindo, dalam keterangannya kepada wartawan.
Karena pasokan yang turun tersebut, kata Soetanto, harga kakao di pasar global pun meningkat. Harga biji kakao global menembus level USD11.268 per ton akhir tahun lalu. Angka ini melesat 164,06% year on year (yoy) dibandingkan periode sama tahun lalu. Dalam sebulan terakhir, harga biji kakao juga melonjak 28,62% month to month (mtm).
“Ini harus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Pasokan yang turun dan harga yang tinggi. Ekspor kakao tahun lalu kami perkirakan meningkat 10%,” katanya.
Baca Juga: Pengelolaan Dana untuk Kakao dan Kelapa Digabung ke BPDPKS
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data, volume ekspor kakao Indonesia mencapai 288.250 ton pada Januari-Oktober 2024, atau naik 1,92% year on year (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni 282.810 ton. India, Amerika Serikat, dan China menjadi negara-negara tujuan utama ekspor kakao asal Indonesia.
Sementara itu Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan BPDP, Achamd Maulizal Sutawijaya, mengatakan prospek produksi dan ekspor kakao Indonesia masih sangat baik. Namun tantangan yang dihadapi perkebunan kakao sangat kompleks.
Mauli merinci, tantangan yang dihadapi industri kakao Indonesia meliputi penurunan produktivitas, mutu biji kakao yang rendah, dan ketergantungan impor. “Produktivitas tanaman kakao menurun akibat faktor seperti penuaan tanaman, serangan hama, dan rendahnya penggunaan pupuk.
Sedangkan, mutu biji kakao Indonesia yang bervariasi dan kurangnya fermentasi menyebabkan harga jual yang relatif rendah di pasar global. Tantantan lain, Indonesia masih mengimpor biji kakao untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri,” katanya.
Tantangan-tantangan tersebut, kata Mauli, bisa diatasi dengan kerjasama yang baik antar seluruh pemangku kepentingan. Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) akan memfokuskan dukungannya kepada upaya peningkatan produktivitas dan good agriculture practices. (LIA)