JAKARTA – Pemerintah resmi membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan. Pembentukan ini resmi tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 132 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana Perkebunan. Kebijakan ini diteken Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 18 Oktober 2024 lalu. Artinya dua hari sebelum Jokowi lengser.
“Badan Pengelola Dana Perkebunan adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan Dana,” tulis aturan tersebut pada pasal 1 nomor 7.
Dana yang dihimpun oleh BPDP berasal dari, pelaku usaha perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat; dan dana lain yang sah. Pada pasal 2 nomor 3 disebutkan badan ini akan mengelola atau mengatur sejumlah komoditas mulai dari kelapa sawit, kakao, dan kelapa.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan inisiasi pembentukan BPDP akan secara langsung mendukung pengembangan industri hulu-hilir kakao yang berkelanjutan. “Kemenperin berhasil menginisiasi pembentukan BPDP yang akan mendukung pengembangan hulu-hilir kakao berkelanjutan,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika.
Baca Juga: Pengelolaan Dana untuk Kakao dan Kelapa Digabung ke BPDPKS
Menurut dia, dengan adanya lembaga tersebut akan mengoptimalkan peluang yang dimiliki oleh Indonesia dalam memajukan salah satu subsektor industri makanan dan minuman (mamin) itu, karena harga kakao dunia di pasaran saat ini tengah meningkat secara drastis.
Pihaknya mencatat pada 2023 harga biji kakao masih di angka USD3.280 per ton dan terus merangkak naik secara fluktuatif di sepanjang tahun lalu, dengan nilai tertinggi pada Desember 2024 yang mencapai USD10.556 per ton.
Lebih lanjut, pihaknya bersama BPDP juga telah menginisiasi program pengembangan kompetensi sumber daya manusia (SDM) untuk memperkuat rantai pasok bahan baku sektor kakao melalui Cocoa Doctor.
Putu mengatakan, pada tahun lalu Kemenperin menghasilkan 37 Cocoa Doctor yang telah mendapatkan pelatihan di Mars Cocoa Academy selama 1 bulan. Para Cocoa Doctor juga telah melakukan pembinaan ke mitra petani Training of Trainers (ToT) lebih dari 3.700 orang.
Baca Juga: Tekan Emisi Global, Program B40 Dipuji Malaysia
Selain itu, pihaknya juga sedang menyusun program pencapaian swasembada kakao untuk mencapai kemandirian industri, dengan menyusun konsep dan menyiapkan langkah-langkah strategis bersama pengusaha perindustrian dan kementerian atau lembaga. Salah satu langkah itu yakni pemanfaatan lahan perhutanan sosial untuk produksi bahan baku biji kakao yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air.
Sebelumnya, Putu Juli menyatakan sektor kakao merupakan salah satu subsektor industri makanan dan minuman yang tengah mengalami pertumbuhan investasi. Hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya 20 produsen industri pengolahan kakao yang memproduksi cocoa butter, cocoa liquor, bubuk kakao, dan kue kakao.
Sementara, kemampuan daya saing industri pengolahan kakao, menjadikan Indonesia sebagai eksportir produk kakao olahan terbesar ke-4 dunia, dengan pangsa pasar utama antara lain India, Amerika Serikat, Uni Eropa, China, dan Malaysia.
Baca Juga: BPDP Geber Penyaluran Dana PSR dan Sarpras
Kemenperin mencatat pada 2023, nilai ekspor produk olahan tersebut mencapai lebih dari USD1,2 miliar dan berkontribusi pada share market global sebesar 3,92%.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Eddy Abdurrachman menyampaikan rencana kerja untuk 2025, salah satunya program pengembangan sumber daya manusia (SDM) perkebunan sebanyak 27.000 orang.
Target itu terdiri dari 4.000 penerima beasiswa (mahasiswa baru), 15.000 peserta pelatihan untuk perkebunan kelapa sawit, 3.000 peserta pelatihan untuk perkebunan kakao, dan 5.000 peserta pelatihan untuk perkebunan kelapa.
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin mendorong BPDP untuk melaksanakan program peremajaan lahan kakao guna meningkatkan produktivitas. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2024, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) beralih menjadi BPDP.
“Lembaga ini nantinya juga akan menghimpun, mengelola, dan menyalurkan Dana Perkebunan, yang berasal dari kelapa sawit, kakao, dan kelapa. Dana tersebut di antaranya digunakan untuk peremajaan perkebunan,” ucap Puteri dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komis XI bersama Dirut BPDP Eddy Abdurrachman, di Ruang Rapat Kerja Komisi XI, Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2025).
Saat ini Indonesia memang masuk dalam jajaran 4 besar produsen kakao terbesar di dunia, dan sekaligus menjadi penghasil kakao terbesar di kawasan Asia. Tapi, menurut BPS, produksi kakao tercatat terus menurun menjadi 632.000 ton pada 2023, dibandingkan 2019 mencapai 734.000 ton.
Lebih lanjut, Puteri menyebut penurunan produksi kakao sejalan dengan pengurangan luas area perkebunan kakao menjadi 1,39 juta pada 2023. Padahal, pada 2019, luas area kakao kita bisa menyentuh 1,56 juta.
“Hal ini disebabkan alih fungsi lahan ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti sawit dan tebu. Selain itu, kurangnya insentif bagi petani kakao juga turut mempercepat peralihan lahan kakao,” urai Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Puteri menilai peningkatan produktivitas kakao diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan mengurangi ketergantungan impor kakao. Pada 2023, volume impor kakao Indonesia tercatat sekitar 340.450 ton. Sementara, volume ekspor kakao tercatat 339.990 ton.
“Meski Indonesia menjadi salah satu produsen kakao terbesar di dunia, tapi kita juga masih tetap impor kakao. Ini karena ketersediaan kakao lokal tidak mencukupi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas,” papar Puteri. (SDR)