JAKARTA – Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 tahun 2025 sebagai revisi dari PP No.24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dinilai dapat menimbulkan polemik serius di sektor perkebunan.
Guru Besar IPB bidang ahli Kebijakan, Tata Kelola Pertanahan, Ruang dan Sumber Daya Alam (SDA) Prof Dr Budi Mulyanto melalui rilis diterima di Jakarta, Selasa (7/10/2025), mengatakan PP No.45/2025 itu justru menghadirkan suasana lebih menyeramkan dibanding aturan sebelumnya.
“PP No.45/2025 itu memperluas kekuasaan Satgas PKH. Ada istilah penguasaan kembali, paksaan pemerintah, bahkan kewenangan mencabut izin, memblokir rekening, sampai mencegah orang keluar negeri,” beber dia.
Baca Juga: Satgas PKH Siap ‘Kuras’ Korporasi yang Sulap Hutan Jadi Lahan Sawit
Bahkan, lanjut dia, walaupun denda sudah dibayar, namun lahan tetap bisa diambil kembali, sehingga berdampak atau membuat ‘horor’ dan semakin stres bagi para pelaku industri sawit di negara ini. “Kondisi itu tentunya menimbulkan kekhawatiran terkait kepastian hukum dan iklim investasi,” ucap Budi.
Menurut dia, salah satu poin yang menjadi sorotan sekarang ini adalah besaran denda Rp25 juta per hektare (ha) per tahun yang dinilai sangat memberatkan berdasarkan PP No.45/2025. Sementara, berdasarkan perhitungan dirinya, angka tersebut 5–7 kali lipat lebih besar dibanding dengan aturan sanksi administrasi pada PP No.24/2021.
Akademisi IPB itu pun mengaku tidak mengerti darimana muncul hitungan Rp25 juta per ha per tahun. Hal itu pula yang membuat besaran denda ini banyak dikomentari sebagai pembunuhan industri sawit. Bahkan, dianggap bukan hanya menimbulkan ketakutan, tetapi juga citra buruk investasi di Indonesia.
Baca Juga: Satgas PKH Kuasai Lahan Sawit 3,2 Juta Hektare
“Seharusnya besaran denda bisa dievaluasi dari nilai atas kinerja lahan tersebut. Lahan misalnya lahan hutan dengan intensitas pohon segini dan seterusnya kan bisa dihitung. Tiba-tiba muncul angka Rp25 juta itu pertanyaan besar,” paparnya.
Budi mengatakan akar persoalan sebenarnya bukan sekadar pada PP 45/2025, tetapi penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak mengikuti UU 41/1999 tentang Kehutanan. Di mana UU Kehutanan itu sebelum penunjukan kawasan hutan, harus ada survei sosial, ekonomi, dan penguasaan tanah masyarakat.
Namun, praktiknya penunjukan kawasan dilakukan tanpa survei menyeluruh. Akibatnya, tanah rakyat, desa, transmigrasi, hingga hak guna usaha (HGU) lama ikut dimasukkan ke kawasan hutan. Bahkan ada 30.000 desa, hingga tanah transmigran yang sudah bersertifikat masuk kawasan hutan.
“Itu bukti penetapan kawasan dilakukan serampangan, tidak sesuai UU. Inilah akar persoalan yang membuat lahan sawit masyarakat dan perusahaan tiba-tiba dianggap melanggar,” ujarnya.
Dirinya pun berharap Pemerintahan Prabowo Subianto dapat membereskan akar persoalan tersebut dengan merevisi peta kawasan hutan dan melaksanakan reforma agraria. Hal itu juga sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Kalau tidak, suasana gaduh ini akan terus berlanjut dan membahayakan stabilitas nasional,” demikian Budi. (ANG)