JAKARTA – Penyelesaian masalah kebun sawit yang dikategorikan masuk kawasan hutan masih menjadi perbincangan hangat. Jalan tengah terbaik tentunya menjadi harapan semua pihak agat tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Apalagi kalau menyangkut kepentingan banyak pihak seperti pemerintah, dunia usaha, hingga masyarakat.
“Yang harus diperhatikan adalah hak-hak konstitusional para pihak harus diperhatikan,” kata pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Sadino di Bandung pada 23 Agustus 2023. Karena itu, perizinan perkebunan sawit yang masuk kawasan hutan diselesaikan secara administratif karena tergolong ranah administrasi berdasarkan Undang-Undang Kehutanan.
Menurut Dr. Sadino, perizinan perkebunan sawit diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Pasal 110 A. Perkebunan sawit yang sudah memiliki izin berusaha, tapi dikategorikan masuk kawasan hutan harus menyelesaikan persyaratan. “Wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun,” katanya.
Waktu tiga tahun terhitung sejak Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 diberlakukan. Artinya, masih ada waktu sampai 2 November 2023. Sanksi bagi perusahaan yang belum memenuhi persyaratan sampai batas waktu tiga tahun yang diberikan, maka diberi sanksi administratif. “Misalnya, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” katanya.
Dr. Sadino berpendapat perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan sampai batas waktu ini tidak termasuk dalam pelanggaran pidana korupsi. “Karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi,” ujarnya.
Dalam Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja tergambar jelas bahwa regulasi ini menggunakan asas ultimum remedium dan restorative justice. Penggunaan asas ini termasuk untuk kebun kelapa sawit yang dikategorikan masuk kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut Dr. Sadino, izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan berbeda dengan Hak Atas Tanah. Kaerna itu, penyelesaiannya tidak boleh serta merta karena memerlukan verifikasi teknis menggunakan frasa sebelum ditunjuk kawasan hutan sesuai Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2021 tentang kehutanan dan setelah ditunjuk kawasan hutan sesuai pasal 25.
Yang menjadi masalah, kata dia, pasal 25 ini dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 9 Juli 2012 yang mengubah ketentuan pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,” katanya.
Dr. Sadino mengatakan solusi masalah kebun sawit, baik sebelum dan setelah adanya Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja bisa menggunakan beberapa aturan yang ada. Beberapa peraturan itu antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Namun, PP Nomor 10 tahun 2010 belum mampu menyelesaikan masalah, terutama ketika pemerintah daerah menggunakan Undang-Undang Nomo 24 tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 untuk penataan ruang. “Keduanya berbeda dengan perundang-undangan di bidang kehutanan,” katanya.
Peraturan tentang tata ruang ini mencakup di dalamnya perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan ini mengakibatkan perbedaan peruntukan ruang antara rencana tata ruang wilayah dengan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Di sisi lain, definisi hutan produksi pada Peraturan Pemerintah No. 104 tahun 2015 juga berubah. Misalnya, hutan produksi yang dapat dikonversi juga bukan masuk dalam kategori hutan tetap.
Definisi Hutan Tetap adalah kawasan hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan, terdiri dari Hutan Konservasi, Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Tetap. “Ketentuan Peralihan Bab IV dalam Peraturan Pemerintah Nomor 104 juga mengakomodir kegiatan usaha perkebunan,” katanya.
Berangkat dari sadaran regulasi di atas, Dr. Sadino mengatakan perkebunan kelapa sawit yang telah mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang untuk memberi izin tidak dapat dikatakan tidak sah. Karena itu, apabila ada kekurangan dan terbukti telah mengajukan permohonan, ha itu merupakan bentuk kepatuhan kepada pemerintah.
Dr. Sadino memberi catatan bahwa perizinan yang sudah diperoleh adalah perizinan yang sah. Selain itu, tidak ada pelanggaran hukum konteks perizinan penataan ruang. Dia terbukti tidak pernah melakukan kejahatan di bidang kehutanan. “Tapi, izinnya diperoleh dengan cara yang tidak prosedural, maka dibatalkan dulu izinnya,” katanya.
Karena itu, Dr. Sadino menyatakan penyelesaian masalah perkebunan sawit di kawasan hutan harus dilihat secara komprehensif. Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara (Satgas Sawit) tidak hanya memakai ketentuan hukum di bidang kehutanan versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Padahal yang akan diselesaikan Satgas Sawit sangat kompleks,” katanya. Apalagi banyak hak konstitusional para pihak yang sudah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusional No. 34 tahun 2011. (PEN)