JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus fokus menjalankan hilirisasi industri sawit di dalam negeri. Kebijakan ini ternyata mampu meningkatkan nilai tambah melalui proses pengolahan agar menjadi produk turunan dengan nilai jual lebih tinggi.
“Pada tahun 2022 komposisi ekspor bahan baku mengalami penurunan menjadi 2% CPO dan 4% CPKO. Ini karena ekspor produk hilir mengalami peningkatan signifikan, yang meliputi 73% produk refinery dan 21% produk lainnya,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika di Jakarta pada 14 Agustus 2023.
Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal tahun 2019 dan 2022, sawit berkontribusi 3,5% pada PDB nasional. Ekspor produk sawit mencapai 282 juta MT dengan nilai US$ 176,84 miliar selama 2015-2022. Dari kinerja ekspor ini, negara menerima pendapatan pungutan ekspor sebesar Rp 182 triliun.
Putu Juli Ardika mengatakan hilirisasi industri sawit mempunyai indikator pencapaian berupa komposisi ekspor antara bahan baku dan produk olahan. Pada 2015, komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18% CPO dan 6% CPKO. Keduanya merupakan bahan baku industri dan sisanya 61% produk refinery serta 15% produk lainnya.
Selain itu, jenis produk yang dihasilkan dari sawit semakin beragam. Pada akhir 2007, jumlah produk hilir turunan sawit hanya 54 jenis. Tapi, sekarang jumlahnya menjadi 179 jenis, antara lain meliputi produk oleofood dan oleochemical.
Putu mengatakan keuntungan yang didapat dari hilirisasi industri sawit, antara lain optimalisasi penyerapan hasil produksi petani rakyat, penyediaan bahan pangan, non pangan, dan bahan bakar terbarukan, hingga membangkitkan ekonomi produktif berbasis industri pengolahan.
Kemenperin menerapkan bauran kebijakan secara konsisten dalam menjalankan program hilirisasi industri kelapa sawit. Hal ini didasari melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015-2035 dan beberapa peraturan tentang Kebijakan Industri Nasional.
Putu mengatakan hilirisasi industri kelapa sawit konsisten dijalankan sejak tahun 2007. Saat itu ekspor minyak sawit mentah (CPO) sekitar 60% dari total ekspor sawit nasional. Padahal, CPO digunakan sebagai bahan baku industri pangan, non pangan dan biofuel di negara tujuan ekspor sehingga nilai tambahnya kurang dinikmati oleh domestik.
“Melalui kebijakan bea keluar yang berorientasi pro-industri, pertumbuhan kapasitas produksi industri minyak goreng, oleofood, oleokimia, dan biodiesel meningkat secara signifikan,” katanya. Pada 2010, kapasitas pabrik pengolahan CPO (refinery) hanya 25 juta ton. Namun, melalui kebijakan hilirisasi, kapasitas refinerymeningkat menjadi 75 juta ton pada tahun 2022. (NYT)