BOGOR – Sebagai komoditas strategis minyak sawit menjadi bagian penting dalam mendukung ketahanan pangan dan energi, termasuk penguatan hilir yang diusung Presiden Prabowo Subianto. Untuk menopang hilirisasi tersebut, penguatan hulu menjadi fokus yang harus didorong di tengah stagnannya produktivitas sawit nasional.
Kepala Bidang Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Achmad Maulizal mengatakan hilirisasi sesuai kebijakan Asta Cita Prabowo Subianto untuk memperkuat hilirisasi di bidang pangan dan energi.
Dia menjelaskan penguatan sawit ini juga sudah tertuang di program-program Presiden Prabowo seperti dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). “Untuk mencapai Indonesia emas, peranan BPDP di sini untuk mendorong kemandirian pangan dan energi,” ujar Maulizal dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit “Strategi Penguatan Hilirisasi Sawit Bagi Pangan dan Energi Indonesia” di Bogor, Sabtu (22/2/2025).
Baca Juga: Keberlanjutan Program Biodiesel Bergantung pada Sektor Hulu Sawit
Dalam konteks swasembada energi, dia menyebut Indonesia harus menyiapkan minyak nabatinya untuk mengganti energi fosil. Menurutnya, hilirisasi sawit pun bisa menopang industri lain seperti maritim.
“Misalnya, helm sawit untuk mendukung kegiatan maritim. Lalu perahu-perahu yang terbuat dari hasil samping sawit juga bisa mendukung kegiatan maritim nelayan,” sambungnya.
Maulizal menambahkan, fokus BPDP tahun ini terus menggenjot pelaksanaan peremajaan sawit rakyat (PSR). Tanpa PSR, Mauli mengatakan produktivitas sawit Indonesia terus menurun. Saat ini saja, produktivitas petani hanya 2,5-3 ton per ha per tahun.
Baca Juga: BPDPKS Berkomitmen Terus Mendukung Pengembangan Industri Sawit dari Hulu hingga Hilir
Direktur Bioenergi Kementerian Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) Edi Wibowo menyebut kebutuhan CPO ke depan akan terus bertambah untuk program biodiesel yang terus ditingkatkan persentasenya.
Dia menjelaskan untuk program B40 tahun 2025 diperkirakan mencapai 15,6 juta ton kebutuhan CPO. Program B40 adalah program pemerintah untuk menerapkan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40% yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2025.
“Setiap meningkatkan presentasenya ini pasti ada kajian-kajian, misalnya uji jalan, uji mesin dan lain sebagainya. Sekarang pun kami sudah tes untuk B50, supaya kita siap ketika nanti akan diimplemenetasikan,” jelas Edi.
Edi mengungkap bahwa penerapan biodiesel saat ini relatif lancar baik dari sisi pasokan maupun penyaluran. Dia mencontohkan dari sisi kualitas, saat ini sudah jarang terdengar isu terkait teknis seperti mesin yang cepat rusak. “Isu teknis filter bahan bakar, ini pas awal awal saja isunya. Saat ini tidak ada lagi isu yang sering muncul itu,” ungkapnya.
Baca Juga: Kementerian ESDM Targetkan Penyaluran B40 Capai 15,6 Juta KL
Lebih lanjut, kata Edi, manfaat biodieselnya juga signifikan bagi negara dengan setidaknya menghemat devisa negara sebesar USD9,33 miliar atau sekitar Rp149,28 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per USD) sepanjang 2024.
Dia memproyeksikan pada B40 setidaknya devisa yang dapat dihemat sebesar Rp147,5 triliun, pengurangan emisi sebesar 41,46 juta ton CO2 ekuivalen, dan peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel sebesar Rp20,98 triliun.
“Ke depannya B50 kami masih lakukan kajian, mudah-mudahan bagaimana aspek kecukupan CPO-nya. Karena untuk B40 saja menyedot sekitar 28% CPO yang digunakan,” ujarnya. (SDR)