TARAKAN – Ketua Umum (Ketum) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Edy Martono memaparkan potensi kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) cukup besar.
Sebagaimana disampaikan Wali Kota Tarakan, kata Eddy Martono, Tarakan bisa menjadi pelabuhan ekspor. Pelabuhan ekspor ini bisa menampung minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tidak hanya di Kaltara saja, tapi juga CPO asal Kalimantan Timur (Kaltim), maupun dari Sulawesi.
Menurut Eddy Martono, saat ini produk kelapa sawit di Kaltara baru sampai pada CPO. Namun sangat dimungkinkan di Kaltara dibangun pabrik pengolahan untuk produk hilir, seperti pabrik yang ada di Jawa maupun Sumatera. Namun ini semua, kata Eddy Martono, sangat bergantung pasar.
“Kalau khusus untuk ekspor bisa juga. Pabrik hilirisasi itu untuk konsumsi dalam negeri. Seperti saya sampaikan, kita itu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Tapi kita juga sebagai konsumen terbesar minyak sawit dunia,” ujarnya.
Sehingga pabrik harus mendekati pasar agar biaya produksinya tidak terlalu mahal. Apalagi jika untuk memenuhi kebutuhan ekspor tidak ada masalah untuk dibangun pabrik pengolahan.
Sebelumnya kebutuhan minyak sawit di dalam negeri tiap tahunnya sebanyak 8 juta ton. Tapi untuk tahun 2022 naik menjadi mencapai 21 juta ton. Dan pada 2023 diperkirakan naik lagi menjadi 25 juta ton.
“Akan naik karena ada biodiesel. Kebutuhan lokal saat ini tidak ada masalah. Produksi minyak sawit kita total 51 juta ton, kebutuhan dalam negeri 21 juta masih tercukupi. Hanya saja perlu antisipasi jangan sampai produksi nggak naik atau stagnan dan konsumsi naik terus sehingga yang dikorbankan ekspor. Kan pasti kita harus penuhi dalam negeri dulu,” ujarnya.
Diketahui, ada tiga topik yang dibahas dalam Borneo Forum Ke-IV ini. Pertama, persoalan peremajaan sawit rakyat (PSR). Kedua persoalan keterlanjuran areal kebun masuk dalam kawasan hutan. Ketiga, persoalan fasilitasi kebun masyarakat (FKM).
Eddy Martono mengungkapkan, dari ketiga topik yang dibahas dalam Borneo Forum ini, Pertama soal PSR, tanaman kepala sawit di Kaltara masih relatif baru. Namun topik ini harus juga dibahas karena isu PSR ini sangat terkait dengan kebutuhan minyak sawit di seluruh Indonesia yang trennya terus mengalami kenaikan.
Kedua persoalan kebun sawit di kawasan hutan, di mana disebutkan ada 17.000 hektare (ha) diindikasikan masuk dalam kawasan hutan. Namun demikian, kata Eddy Martono, informasi ini perlu diklarifikasi kebenarannya ke Satgas Sawit. “Ini masih harus diklarifikasi, harus dicek ke Satgas Sawit karena belum tentu benar,” katanya.
Sebab, lanjut Eddy Martono, ada juga sudah kebun sawit yang dinyatakan masuk hawasan hutan ternyata sudah memiliki hak guna usaha (HGU). “Makanya harus diklarifikasi terlebih dahulu ke Satgas Sawit,” katanya.
Kemudian soal fasilitasi kebun masyarakat (FKM) sebesar 20% atau kewajiban perusahaan kelapa sawit untuk membangun kebun sawit untuk masyarakat. “Masalahnya banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit dibangun di bawah tahun 2007. “Ini kewajiban diatur dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2007,” ujarnya.
Namun sebelum itu, kebanyakan perusahaan tersebut punya PIR-Trans, Pola Kemitraan Perkebunan Inti Rakyat, Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (PIR KKPA) dan PIR-Bun memang menurutnya tidak masalah. “Tetapi saat ini masyarakat tidak mau tahu kondisinya sudah ada PIR-Trans, PIR KKPA dan PIR Bun. Masyarakat tetap menuntut,” katanya.
Persoalannya kemudian, kata Eddy Martono, lahan untuk membangun kebun sawit untuk masyarakat yang berada di sekitar kebun ini sudah tidak ada. Kalaupun ada itu sudah masuk areal kawasan hutan.
Jika itu dipaksakan, pasti menabrak konstitusi lain. Apalagi sekarang sudah ada EU Deforestation Regulation (EUDR). Sekarang kalau bangun kebun di atas 31 Desember tahun 2020 dianggap deforestasi. Sehingga nanti minyak sawitnya tidak diterima di Eropa dan ini jadi masalah.
Maka akan coba didorong daerah yang tidak ada lahan untuk membangun kebun sawit untuk masyarakat itu dilakukan kegiatan produktif lainnya. “Misalnya peternakan dan perikanan. Saat ini sedang didorong agar tidak fokus semua mengejar kebun sawit kalau areanya terbatas,” tukasnya. (SDR)