JAKARTA – Pemerintah akan terus mendorong program mandatori biodiesel berbasis minyak sawit. Program ini tak hanya mengurangi ketergantungan energi fosil, namun juga terbukti menghemat devisa negara.
“Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan yang sangat besar dan perlu dioptimalkan untuk meningkatkan perekonomian di berbagai sektor serta mengurangi ketergantungan energi fosil,” ujar Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kantor Menko Perekonomian Edy Yusuf Workshop pada acara Rembug Tani Nasional III Tahun 2023 di Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Menurutnya, mandatori biodiesel menunjukkan hal yang sangat baik, salah satunya dapat mewujudkan penghematan devisa negara. Pada tahun 2022, akibat program biodiesel, terjadi penghematan devisa negara sebesar Rp122,65 triliun, dan memberikan nilai tambah terhadap minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebesar Rp12,2 triliun.
Setelah B-35, kata Edy Yusuf, maka akan dilanjutkan menjadi B-40 sehingga hal ini akan semakin mengukuhkan Indonesia sebagai produsen utama biodiesel dunia. “Ini suatu prestasi Indonesia yang patut untuk kita apresiasi. Dengan mandatori B-35, kebutuhan CPO semakin meningkat serta mampu menyerap CPO Indonesia sehingga mendongrak harga TBS (tandan buah segar) di tingkat petani,” katanya.
Butuhkan Kesepahaman dan Kolaborasi
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan sebagai produsen utama kelapa sawit dunia, sangat penting bagi Indonesia untuk mendorong adanya satu kesepahaman yang sama dalam kemitraan strategis dan kolaborasi semua pihak. Kemitraan ini diperlukan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan sawit Indonesia.
Menurut Eddy Abdurrachman, sawit sebagai komoditas strategis telah menyumbang kebutuhan minyak nabati dunia hingga mencapai 22%. Namun, Indonesia diharapkan tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah minyak nabati dunia saja, namun harus memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi, salah satunya melalui hilirisasi.
Mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai itu menjelaskan jika saat ini pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan dengan tujuan untuk mendorong hilirisasi industri kelapa sawit yang dapat memberikan nilai tambah kepada petani dan masyarakat Indonesia.
Dia menambahkan sekitar setengah perkebunan kelapa sawit Indonesia merupakan sawit yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat yang tersebar dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua. Dinamika itu memberikan tantangan tersendiri dalam mendorong hilirisasi kelapa sawit.
Sebab, petani kelapa sawit swadaya memiliki banyak tantangan dalam menjalankan sawit mereka. Beberapa masalah yang muncul antara lain masalah rantai pasok dari perkebunan hingga ke pabrik, infrastruktur yang kurang memadai, produktivitas yang relatif rendah dan kurangnya pengetahuan petani swadaya terhadap praktek pertanian yang baik serta akses yang terbatas terhadap teknologi maupun sertifikasi.
Masalah tersebut, katanya, sangat penting untuk diatasi dengan solusi yang efektif dan strategis. Salah satunya melalui strategi industri integrasi dari hulu hingga hilir. “Hilirisasi minyak sawit tersebut, salah satunya melalui mandatori biodiesel,” katanya. (SDR)