JAKARTA – Pemerintah disarankan untuk mengadopsi usulan tiga asosiasi petani sawit yakni Apkasindo, Aspekpir dan Samade dalam menyelesaikan masalah kebun sawit terindikasi di kawasan hutan. Usulan ini disampaikan oleh Ketua Umum Apkasindo Gulat ME Manurung dalam keterangan resminya pada 12 Maret 2024.
Menurut Gulat, adopsi usulan tiga asosiasi ini dilakuka untuk penuntasan klaim kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap perkebunan sawit rakyat dengan pendekatan histori kebun sawit yang berpatokan ke UU Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 dan UU Cipta Kerja, penuntasan revisi Permentan 01 tahun 2019.
Poin penting dari revisi tersebut adalah melindungi petani sawit swadaya, serta merevisi regulasi ISPO dengan konsep ISPO Relatif. “Dari sisi pemerintah, dibutuhkan konsistensi regulasi terkait hulu-hilir sawit,” kata Gulat dalam pernyataan tertulisnya. Konsistensi semakin dibutuhkan terutama yang berkaitan dengan harga.
Berdasarkan catatan Apkasindo, dari 2015-2023, rata-rata harga CPO Internasional Rotterdam dan PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) setiap tahunnya menunjukkan dinamika yang tidak konsisten. “Inkonsistensi ini bermula dari Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia,” katanya.
Gulat mengatakan catatan penting dari perjalanan harga CPO sejak 2015 adalah kenaikan harga hingga 42,04%. Sedangkan kenaikan harga TBS pada 2015-2023 hanya 27,27%. Pada 2023 misalnya, harga CPO Rotterdam turun 25,98% dan harga CPO KPBN turun 12,09% dibandingkan harga pada 2022. Akibatnya harga TBS turun 10,20%. Kenaikan harga CPO di awal 2020 sampai dengan 2022 tidak terlepas dari kebijakan mandatori Biodisel B30.
Kebijakan biodiesel membuat harga CPO terdongkrak tajam selama 2020-2022. Strategi ini berhasil menjaga keseimbangan CPO domestik dan global. Hal ini ini berkaitan erat dengan kenaikan harga TBS Petani pada periode tersebut. “Naiknya harga CPO sejak mandatori B30, berdampak ke ketersediaan minyak goreng domestik, terutama sejak awal 2023,” katanya.
Kelangkaan minyak goreng ini telah mengakibatkan pemerintah terpaksa mengambil kebijakan pelarangan ekspor CPO tanggal 28 April 2022, yang langsung mengakibatkan ambruknya harga CPO domestik di saat bersamaan harga CPO dunia melonjak tajam akibat larangan ekspor tersebut.
Untuk mendongkrak harga CPO pemerintah kembali meningkatkan serapan CPO domestik dengan menaikkan mandatori B30 menjadi mandatori B35 per awal Agustus 2023, namun upaya ini tidak banyak menolong mendokrak harga CPO domestik dan dampaknya sampai dengan akhir tahun 2023 masih berbekas. “Walaupun rendahnya harga CPO domestik pascalarangan ekspor juga dipengaruhi faktor-faktor lain tentunya,” tuturnya.
Apkasindo berpendapat ada sejumlah strategi kondisi ekonomi, sosial sawit dan lingkungan selama 2015-2023 tadi tak lagi terjadi. Perlu langkah-langkah afirmasi pada 2024 ini dengan beberapa poin strategis yang harus dilakukan pemerintah dan stakeholders sawit lainnya.
“Dari sisi pemerintah, dibutuhkan konsistensi regulasi terkait hulu-hilir sawit, segera menerbitkan regulasi dukungan pendirian PKS petani sawit, percepatan pendirian Pabrik Mini Minyak Goreng (Pamigo) dan Pabrik Minyak Makan Merah (M3) yang dikelola koperasi menggunakan dana dari BPDPKS,” katanya. (NYT)