JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai terobosan rencana penerapan pemerintah terkait peningkatan baku mutu untuk industri sawit sangat baik. Karena penerapan land application (LA) pada lahan sawit dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia sehingga dapat mengurangi emisi karbon.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum GAPKI Eddy Martono menanggapi rencana Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) yang akan mempersiapkan peningkatan baku mutu untuk industri sawit untuk pemanfaatan limbah cair atau aplikasi lahan (land application).
“Untuk pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kebun dan limbah cair akan digunakan land application (LA) sebaiknya Biochemical Oxygen Demand (BOD) di bawah 5.000 mg/L dan minimum 2.000 mg/L. Hal ini agar kandungan bahan organik masih layak diaplikasikan dan tidak membahayakan terhadap lingkungan,” kata Eddy Martono dalam keterangannya di Jakarta, Senin (9/12/2024).
Baca Juga: Baku Mutu PKS Tanpa Kebun Wajib di Bawah 100
Land application (LA) atau aplikasi lahan merupakan salah satu teknik pengelolaan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan cara mengalirkan limbah cair melalui sistem parit ke kebun. Sedangkan, BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik dalam air limbah.
Untuk penggunaan methane capture, paling rendah BOD yang dihasilkan adalah 2.000 mg/L, Eddy mengusulkan agar sebaiknya tidak diwajibkan bagi PKS yang akan menggunakan limbah cair untuk land application. “Tetapi kalau akan digunakan untuk energi silahkan,” jelasnya.
Methane capture teknologi yang digunakan untuk menangkap gas metana hasil pembakaran limbah sawit. Adapun kata Eddy, untuk ketentuan PKS tanpa kebun sudah baik. Di mana, mereka diwajibkan mengolah limbahnya sampai memiliki BOD di bawah 100 mg/L, karena limbah cair tersebut akan dibuang di badan air.
Baca Juga: KLH Susun Roadmap Pengurangan Emisi GRK di Industri Sawit
“Regulasi untuk LA sudah ada dan sebaiknya tetap dipertahankan, supaya tujuan untuk mendapatkan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk kimia dapat tercapai,” paparnya.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) akan mempersiapkan, peningkatan baku mutu untuk industri sawit dalam pemanfaatan limbah cair atau aplikasi lahan (land application).
Menteri LH/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq mengatakan industri sawit yang punya kebun, baku mutu terkait dengan land application, boleh Biochemical Oxygen Demand (BOD) 2.000, karena akan diaplikasikan lagi ke kebun-kebun mereka sebagai pupuk.
Namun untuk industri yang tidak memilik kebun maka baku mutunya wajib di bawah Biochemical Oxygen Demand (BOD) 100. Kalau tidak, izinnya akan dicabut jika sampai langsung membuang limbah cairnya ke sungai.
Pengelolaan Limbah Harus Hati-hati
Para pakar lingkungan juga sepakat mendukung dengan rencana pemerintah tersebut. Hanya saja, mereka mengingatkan agar pembuangan limbah cairnya lebih hati-hati dan tidak dibuang ke sungai meskipun BOD-nya 100 mg/L. Karena hal itu membahayakan lingkungan dan berpotensi merusak biota perairan.
Ketua Dewan Pakar Pusat Kajian, Advokasi, dan Konservasi Alam (Pusaka Kalam) Yanto Santosa mengatakan, bahwa limbah cair PKS merupakan sumber daya yang bermanfaat baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial. Namun, untuk pemanfaatannya harus juga mengedepankan kelestarian lingkungan termasuk upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
“Karena itu hati-hati ketika kita ingin memperoleh manfaat yang optimal tersebut maka prasyaratnya adalah jangan sampai justru malah meningkatkan emisi gas rumah kaca,” papar Yanto Santosa, Senin (9/12/2024).
Baca Juga: POME, Limbah Cair Sawit yang Berpotensi Jadi Sumber Energi Terbarukan
Yanto tidak sepakat bila pemerintah memperbolehkan pabrik tanpa kebun membuang limbah cairnya ke sungai walaupun memiliki BOD 100 mg/L. Karena jika setiap pabrik membuang limbahnya ke sungai dikhawatirkan akan merusak ekosistem perairan sungai. “Itu akan mengakibatkan kematian ikan dan sebagainya. Jadi tidak ada limbah yang dibuang ke sungai,” paparnya.
Dia mengusulkan, agar limbah cair dari PKS tidak punya kebun bisa bekerja sama dengan kelompok tani di sekitarnya. Tujuannya, agar limbah cair dengan level BOD tertentu bisa diberikan secara cuma-cuma untuk diolah menjadi pupuk cair yang bermanfaat bagi para petani sawit di sekitar pabrik.
Yanto sepakat terhadap aturan Kementerian LH yang memperbolehkan jumlah BOD sebanyak 2.000 mg/L untuk PKS yang memiliki kebun. Hanya saja, alangkah baiknya jika PKS yang memiliki kebun diperbolehkan BOD nya sampai 3.000 sampai 5.000 mg/L.
Karena BOD dengan level 3.000 hingga 5.000 mg/L mengandung unsur hara yang dibutuhkan untuk pupuk tanaman sawit. “Jadi kalau kementerian bilang BOD 2.000 mg/L, sudah bagus. Tapi kalau diganti kalimatnya BOD di bawah 5.000 mg/L akan lebih baik lagi kandungan haranya,” ungkapnya.
Unsur hara adalah sumber nutrisi atau makanan yang dibutuhkan oleh tanaman. Dia mengharapkan pemerintah segera mengeluarkan petunjuk teknis (juknis) agar para PKS segera bisa menyesuaikan dengan aturan tersebut.
“Intinya pemerintah harus menyusun roadmap 10 tahun ke depan sehingga program pengurangan emisi GRK dan program mendukung pertumbahan ekonomi 8% bisa tercapai,” tandasnya.
Senada, pakar tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata juga mendukung aturan yang akan diterapkan oleh Kementerian LH. “Kalau aturannya BOD 2.000 itu kan namanya juga kebijakan, saya ngga mau berbantah-bantah. Kalau ditanya secara pribadi dan secara data saya, BOD 3.000 itu lebih baik dari 2.000,” jelas Basuki yang juga peneliti dari Pusaka Kalam ini.
Kandungan BOD 2.000 mg/L dikhawatirkan kandungan untuk pupuknya cepat hilang dibawa air. Basuki memahami kekhawatiran pemerintah kenapa memilih BOD 2.000 mg/L. Karena BOD yang tinggi ditakutkan akan melepaskan gas methan ke udara. Padahal hal ini sebenarnya bisa disiasati dengan ketebalan cairan yang disebar ke kebun sawit antara 20-30 cm sehingga kemungkinan lepasnya gas methan ke udara juga berkurang.
Selama ini dia melihat cairan yang disebar setebal hingga 40-60 cm sehingga memungkinkan lepasnya gas methan ke udara yang cukup tinggi. Basuki mengatakan, limbah dengan BOD 100 mg/L yang dibuang ke sungai juga sangat berbahaya bagi lingkungan dan memiliki potensi terjadinya fenomena eutrofikasi yang pada gilirannya dapat merusak biota perairan.
Selain itu, pembuangan tersebut juga menjadi sia-sia karena banyak kandungan hara yang terbuang secara percuma. Karena limbah cair sawit memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
“Satu industri dengan kapasitas 60 ton per jam atau 1.000 ton per hari maka limbah yang keluar kan 400-500 kubik per hari. Kalau kita sebarkan ke kebun sawit seluas 400 hingga 500 hektare (ha) bisa. Itu bisa menghemat pupuk setara Rp30 miliar,” ungkapnya. (ANG)