JAKARTA – Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) adalah salah satu program Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Karena itu, Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perbendaharaan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini berupaya optimal untuk menyukseskan program ini.
Sayangnya dari tahun ke tahun realisasi Program PSR tak pernah mencapai target yang telah ditetapkan. Pada tahun 2024 misalnya, Program PSR hanya terealisasi 38.247 hektare (ha) dengan dana tersalur sebesar Rp1,295 triliun. Capaian itu masih di bawah target yang telah ditetapkan sebesar 70.000 ha.
Kegagalan ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah (PR) semua pihak. Persoalan maupun hambatan harus segera dicarikan solusinya, agar Program PSR ini bisa mencapai target yang telah ditetapkan.
Baca Juga: Kemitraan Perkebunan Sawit Tingkatkan Kesejahteraan Petani
Menurut Direktur Utama BPDP Eddy Abdurrachman, beberapa hal yang menjadi kendala dalam program PSR, salah satunya menyangkut persyaratan mengikuti program PSR yang dinilainya sulit.
“Petani kesulitan memenuhi persyaratan mengikuti program PSR, khususnya terkait bebas kawasan hutan atau tidak, terjadi tumpang tindih dengan hak guna usaha dengan perusahaan-perusahaan lain,” ungkap Eddy Abdurrachman saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI, DPR RI, di komplek DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2025).
Kendala lainnya adalah karena harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang sedang tinggi, yakni di atas Rp3.000-an. Kondisi ini menyebabkan pada turunnya permintaan perkebunan mengikuti program PSR. Apalagi jika perkebunan itu merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian petani.
“Harga TBS (Tandan Buah Segar) yang saat ini tinggi berdampak pada penurunan permintaan kebun mengikuti PSR, khususnya kebunnya merupakan satu-satunya yang bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan, kendala lainnya, kemitraan dengan perusahaan yang belum optimal,” kata Direktur Utama BPDP.
Baca Juga: Tekan Emisi Global, Program B40 Dipuji Malaysia
Berkaca dari berbagai persoalan dan hambatan tersebut, Eddy Abdurrachman meminta perusahaan perkebunan menggalakkan kemitraan dengan para pekebun. “Ke depannya kemitraan antara perusahaan dengan pekebun akan lebih digalakkan. Kami, akan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain untuk menyederhanakan persyaratan mengikuti PSR,” sambungnya.
Direktur Pemasaran PTPN III (Persero) Dwi Sutoro mengatakan bahwa keberhasilan sistem kemitraan dalam industri kelapa sawit sangat bergantung pada hubungan yang erat antara perusahaan inti dan petani plasma. Kepercayaan dan komitmen bersama menjadi kunci utama agar kemitraan ini memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.
Dalam skema kemitraan, harus ada keseimbangan keuntungan antara petani dan perusahaan inti. Kemitraan yang baik memungkinkan petani memperoleh pendampingan teknis dan akses pasar, sementara perusahaan mendapatkan bahan baku berkualitas secara berkelanjutan.
Hal ini dikatakan Dwi Sutoro saat berkunjung dan berdiskusi mengenai alasan memilih pola kemitraan inti-plasma dengan para pelaku di Kabupaten Siak, Riau, Sabtu (8/2/2025). “Model ini telah memberikan dampak positif bagi petani dan perusahaan dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan,” kata Dwi Sutoro, dikutip dari LinkedIn.
Baca Juga: BPDP Dukung Pengembangan Industri Hulu-Hilir Kakao
Kemitraan antara petani dengan perusahaan kelapa sawit diyakini bakal menciptakan sinergi yang saling menguntungkan antar keduanya. Karena itu, dibutuhkan saling keterbukaan dan meredam ego sektoral agar kemitraan kembali terjalin.
Dalam catatan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) pola kemitraan dalam industri sawit Indonesia sedang dalam tren dianggap tidak menarik. Hal itu terbukti dari 1.118 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Indonesia, hanya 7 pabrik sawit yang bermitra dengan petani swadaya (mitra swadaya) dan itu hanya di Riau yang jumlah PKS-nya mencapai 326 PKS.
Rino menjelaskan jika kemitraan antara PKS dengan petani (plasma) terus menurun jumlahnya. Tahun 1990-2000-an, petani bermitra mencapai 1,7 juta ha. Saat ini hanya kurang lebih 400.000 ha. “Artinya, konsep kemitraan harus dievaluasi sesuai dinamika hulu-hilir sawit dan petani sawit generasi kedua,” ujar Rino dalam seminar sesi I bertema “Ke Mana Arah Kemitraan Sawit?” di Pekanbaru, Riau, Kamis (8/8/2024).
Dia juga mengungkapkan penyebab banyak ‘bercerai’-nya antara perusahaan dan petani, lantaran masing-masing pihak punya cara pandang berbeda dalam memahami kemitraan. Dalam pola kemitraan tersebut, ujar Rino, terdapat tiga entitas yang terlibat: petani, koperasi/kelembagaan tani dan juga perusahaan.
“Tiga itu beda jalur, beda mazhab. Maka wajarlah kalau kami ambil contoh PSR di Riau 2017-2021 itu lebih banyak dari yang swakelola dari pada yang bermitra. Kenapa? Karena mereka dalam merajut kemitraan tidak mudah seperti yang diucapkan. Perjalanan selama 40 tahun dinikahkan kembali perlu perjuangan,” jelas Rino.
Misalnya di Kalimantan Selatan terdapat 9.300 ha, 13 desa, 3 kecamatan yang coba untuh dirajut kembali kemitraannya. “Saya perlu 1 tahun untuk mendamaikan koperasi dan perusahaan sehingga mereka hari ini menikah dan ikut PSR,” ujarnya.
Dengan tidak adanya kemitraan ini juga, lanjut Rino, hanya 20 perusahaan yang dilibatkan untuk menetapkan harga TBS di Riau. Padahal, di sana ada sekitar 300 perusahaan. “Semua salah karena tidak ada kemitraannya. Makanya ini bercerai berai. Maka, jangan disalahkan tiba-tiba ada buah yang lintas kabupaten, provinsi, karena itu,” ucapnya.
Ke depan, Rino berharap kepada perusahaan agar juga lebih mengayomi petani sekitarnya. Selain diberikan harga yang layak, petani sawit juga harus diikutsertakan dalam program-program pengelolaan kebun yang berkelanjutan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono juga berharap agar kemitraan petani dengan perusahaan yang telah bubar kembari disatukan kembali. “Ini perlu dibangun lagi dan dimediasi, kalau itu dirasa menguntungkan untuk masyarakat. Tapi menurut kami kemitraan itu penting,” ujar Eddy.
Menurut dia, banyak sekali kemitraan yang rusak, salah satunya keberadaan PKS tanpa kebun. Dia menegaskan tidak menentang keberadaan PKS tersebut. Namun, harus dipastikan bahwa pemberian izin pabrik tanpa kebun harus melihat kondisi di lapangan. (SDR)