JAKARTA – Ada kabar baik bagi para pelaku usaha persawitan nasional. Kabar baik itu datang dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Padjaitan dalam Konferensi Pers Tata Kelola Industri Sawit di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (23/6/2023).
Dia bilang bahwa pemerintah akan memutihkan atau melegalkan perkebunan kelapa sawit seluas 3.3 juta hektare (ha) yang dituding berada di kawasan hutan. Namun apa betul perkebunan sawit “haram” tersebut semuanya merupakan kesalahan pengusaha? Atau juga kesalahan petani sawit?
Sebelum menjawab itu semuanya, marilah kita lihat salah satu kasus timpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah (Kalteng). Ada penjelasan menarik dari pengamat kehutanan Petrus Gunarso. Dia fokus di Kalteng mengingat di provinsi ini merupakan salah satu sentra kebun kelapa sawit di Indonesia.
Propinsi Kalteng adalah contoh penataan ruang yang sangat fenomenal karena sejak tahun 90-an sampai hari ini belum selesai. Penyelesaian masalah di Kalteng ini paling tidak akan dapat membantu menyelesaikan permasalahan serupa bagi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Riau.
Ketiga provinsi tersebut selain belum secara penuh tata ruangnya selesai; setidak-tidaknya tata ruang di ke tiga provinsi itu masih menyisakan permasalahan lapangan yang belum terpecahkan sampai saat ini. Permasalahan tersebut sangat mengganggu pada salah satu komoditas penting bangsa ini yaitu kepastian penataan ruang untuk perkebunan kelapa sawit.
Dengan menyelesaikan permasalah di tiga provinsi itu berati akan menyelesaikan 37% luas kebun sawit di Indonesia yang pada 2019 tercatat 14,6 juta ha. Di luar angka tersebut terdapat 3,4 juta ha kebun kelapa sawit yang tumpang tindih dengan berbagai fungsi dan kawasan hutan. Di Riau saja sawit yang diidentifikasi ilegal seluas 1,8 juta ha, sedangkan di Kalteng seluas 1,5 juta ha.
Dari dua provinsi tersebut, luas kebun sawit yang tumpang tindih dengan “kawasan hutan” mencapai luas 3,3 juta ha atau 97% dari total sawit bermasalah yang teridentifikasi di seluruh Indonesia. Dengan demikian, menyelesaikan tata ruang di Kalteng dan Riau secara tuntas akan menyelesaikan 97% masalah sekaligus mendapatkan kepastian atas 3,4 juta ha kebun sawit.
Permasalahan
Keruwetan penataan ruang di Indonesia diawali dari Undang-undang yang ambigu, dan lemahnya sistem koordinasi dan proses pengambilan keputusan yang sarat kepentingan politik, interest sektor, dan dalam beberapa hal kepentingan individu pimpinan kementerian dan lembaga yang dipengaruhi oleh kepentingan bisnis.
Undang-undang yang ambigu dalam penataan ruang berawal dari dua undang-undang pokok yaitu UU Pokok Agraria (UUPA) dan UU Pokok Kehutanan (UUPK). Ke dua undang-undang itu lahir dalam suasana bathin yang sangat berbeda dan juga semangat serta ideologi yang sangat berbeda.
UUPA Nomor 5 terbit tahun 1960, sedangkan UUPK Nomor 5 terbit tahun 1967. Jika kita lihat dari sejarah, maka UUPA terbit pada masa Orde Lama, sedangkan UUPK disahkan pada 1967 atau sudah masuk awal dari Orde Baru.
UUPA mempunyai cakupan lebih luas, yaitu seluruh wilayah hukum NKRI, yang mencakup daratan, lautan, badan air, udara di atas wilayah RI dan wilayah di bawah air. Khusus mengenai wilayah laut – Indonesia kemudian wilayahnya bertambah dengan berlakunya UU hukum laut internasional (UNCLOS).
UUPA masih berlaku sampai hari ini, sedangkan UUPK sudah diubah dengan terbitnya UU 41 1999 tentang Kehutanan – sebagai salah satu UU Sektor. Pengaturan untuk masing-masing sektor telah berubah dengan terbitnya UU yang bersifat Sektoral.
Undang-undang tentang Penataan Ruang pertama kali muncul tahun 1992 – yaitu melalui UU 24 Tahun 1992. Saat UU ini disahkan – penataan ruang secara de fakto adalah TGHK – Tata Guna Hutan Kesepakatan yang dilakukan secara mandiri di masing-masing provinsi.
Kesepakatan diwujudkan dalam bentuk tanda-tangan yang dibubuhkan oleh kepala-kepala dinas di tingkat provinsi yang dalam tupoksinya bersangkut paut dengan ruang. Dari TGHK ini muncul istilah yang sangat terkenal dan bernuansa diskriminatif secara sektoral yaitu kawasan hutan (dengan berbagai fungsinya) dan area penggunaan lain (APL).
Proporsi luas kawasan hutan dibanding dengan APL di masing-masing provinsi sangat berbeda antara satu provinsi dengan provinsi lainnya. Perbedaan mencolok dari proporsi ini adalah antara provinsi-provinsi di Jawa, Madura dan Bali dengan provinsi-provinsi lain di luar Jawa dan Bali. Diskriminasi ini seolah hendak memisahkan kewenangan sektor yang mengurus hutan dan sektor yang mengurus tanah (lebih tepatnya agraria).
Dalam wilayah hutan, pengaturannya melalui ijin/hak; sedangkan di APL lebih didasarkan pada Hak – seperti diatur dalam UUPA yaitu Hak Guna Usaha, dan hak-hak yang lain.
Sejak terbitnya UUPK 5/67- maka pemanfaatan kawasan hutan dikeluarkan ijin yang disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sedangkan di wilayah APL, pemanfaatannya berdasarkan hak guna usaha (HGU).
Perebutan Kepentingan
Menarik mencermati perubahan penataan ruang di Kalteng pada dua periode sejarah pembangunan dan dan pemanfaatan sumber daya hutan yaitu sebelum dan sesudah reformasi. Sebelum reformasi kegiatan kehutanan dengan model HPH mencapai titik kulminasi pada tahun 90-an.
Di Kalteng pada dekade 90an terdapat sekitar 100 HPH; dengan luas areal sekitar 6 juta ha. Demikian halnya dengan Provinsi Riau pada peride yang sama juga memiliki lebih kurang 100 HPH. Pada dekade tersebut total HPH di Indonesia mencapai 580 unit dengan luas sekitar 61,3 juta ha.
Sebelum Era Reformasi
Dalam peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1994 luas kawasan hutan di Kalteng ada sekitar 82%, sementara untuk APL sekitar 38%. Sedangkan untuk tahun 1999 luas kawasan hutannya menyusut hanya sekitar 66%, sementara luas APL juga berkurang menjadi 34%.
Sesudah Era Reformasi
Anehnya, sesudah reformasi, proporsi kawasan hutan dan APL justru mengalami perubahan dari moderat menjadi sangat konservatif. Di era reformasi ini kawasan hutan di Kalteng mengalami perubahan berulangkali dengan proporsi yang sangat beragam.
Misalnya saja pada 2003, luas kawasan hutan di Kalteng 63%, APL ada 37%; pada 2007, kawasan hutan (56%), APL (44%); pada 2012 terjadi perubahan yang sangat drastis, yakni kawasan hutan menjadi (87%), APL hanya (13%); dan pada 2015 kawasan hutan (83%), APL (17%).
Hal ini menggambarkan kemungkinan pemanfaatan scoring yang cermat tidak dilakukan dan penetapan justru lebih didorong oleh perebutan kepentingan. Pada tahap awal reformasi, luas proporsi APL hanya sedikit meningkat dari 34% menjadi 37%, namun pada tahun 2007 proporsi APL usulan/Raperda ditetapkan jauh lebih luas yaitu mencapai 44,4%.
Pada 2007, perkebunan kelapa sawit besar mulai masuk ke Kalteng. Namun anehnya, pada lima tahun berikutnya yaitu tahun 2012 luasan APL mengecil menjadi hanya 13%, sesuai dengan SK Menteri Kehutanan 529/Menhut-II/2011.
Ada hal yang tidak biasa untuk sebuah penataan ruang di mana proporsi APL justru berkurang dengan drastis – dan nampak sekali bukan karena pertimbangan teknis tetapi lebih ke pertimbangan politis.
Tidak terlihat di sini adanya tata ruang untuk pencetakan sawah 1 juta ha di Kalteng pada 1997. Luas pencetakan sawah seluas 1 juta ha itu berarti sekitar 6% dari luas wilayah Kalteng.
Jika memperhatikan tata ruang tahun 2015, di mana pada 1997 terjadi kebakaran hebat di Kalteng – dan jutaan ha lahan terbakar. Apakah lahan bekas kebakaran itu pada 2015 sudah kembali menjadi hutan?
Ditambah dengan pencetakan sawah seluas 1 juta ha dan kebakaran seluas lebih dari 1 juta ha, maka paling tidak terdapat wilayah terbuka tak berhutan – yang menurut penilaian scoring tata ruang semestinya lebih tepat berubah menjadi wilayah APL.
Jika 12% saja bekas terbakar dan lahan eks mega rice 1 juta ha – sudah merupakan 12% dari luas Provinsi Kalteng. Jika kemudian 2015 luas APL ditetapkan seluas 17%, maka alokasi APL murni pada tata ruang 2015 ini hanya sekitar 5%. Sebuah proporsi ruang yang sangat tidak wajar.
Dengan adanya status kawasan hutan yang bisa dikonversi pada tata ruang 2015, seluas 2,2 juta ha-hal ini berati proporsi luasnya mencapai 15%. Hal ini berarti tidak ada lagi alokasi APL murni, dan alokasinya hanya bisa melalui pelepasan kawasan hutan yang berasal dari hutan produksi konversi seluas 15% tersebut. Apakah ini memang ada unsur kesengajaan? Jawabanya, perlu dikaji lebih mendalam.
Yang tak kalah menarik adalah pada tahun 2006, terbit Surat Menteri Kehutanan mencabut Surat Edaran Kepala Badan Planologi. Ironisnya, pencabutan surat edaran itu berlaku mundur sejak dikeluarkannya surat Kabaplan yaitu 12 September 2000. Sebuah pencabutan surat edaran yang sangat mengusik rasa keadilan.
Selain berlaku mundur, surat tersebut juga berlaku jauh sebelum MS Kaban diangkat sebagai menteri. Periode Menteri MS Kaban yang mencabut surat itu adalah tahun 2004-2009.
Mungkin alasan MS Kaban menerbitkan surat tersebut karena menilai Surat Kepala Badan Planologi sangat menguntungkan para pengusaha kelapa sawit. Mengingat dalam Surat Kepala Planologi tersebut tidak ada proses pelepasan kawasan hutan, lantaran sudah berada di APL.
Namun demikian, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya bagi para pengusaha kelapa sawit yang mendapatkan lahan pada tahun 2000 sampai dengan 2006, yang sudah melakukan penanaman, kemudian harus mengurus ijin pelepasan kawasan hutan. Diyakini hanya perusahaan raksasa saja yang akan mampu mengurus ijin pelepasan kawasan hutan.
Belum selesai masalah di 2006, pada periode Gubernur Teras Narang terjadi perubahan penetapan tata ruang yang terlihat kurang memperhatikan keadaan di lapangan. Entah mengapa pada 2015 tata ruang Kalteng justru berubah kembali ke proporsi 83% kawasan hutan dan 17% APL. Pada saat itu luas kebun kelapa sawit di Kalteng telah mencapai 1,1 juta ha (7% dari luas propinsi) atau 41% dari APL yang tersedia.
Mencermati penjelasan dari Petrus Gunarso tersebut, terlihat keberadaan kebun sawit di kawasan hutan yang konon mencapai 3,3 juta ha bisa jadi disebabkan karena “kecelakaan” kebijakan. Kesalahan itu tidak serta merta dilimpahkan ke pengusaha sawit dan petani sawit.
Masuk akal memang apabila Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menegaskan bahwa keberadaan lahan sawit di kawasan hutan tersebut bukan sepenuhnya salah perusahaan maupun rakyat. “Nah 3,3 (juta hektare) ini bukan berarti bahwa semua salah perusahaan. Juga bukan semua salah rakyat,” kata Eddy kepada awak media di Jakarta, Senin (26/6/2023).
Menurut Eddy, persoalan lahan sawit di kawasan hutan disebabkan oleh perubahan tata ruang. Akibatnya. banyak lahan sawit yang beralih status menjadi kawasan hutan. “Kemudian mereka beroperasi juga bukannya tanpa izin, yang terjadi di tengah perjalanan terjadi perubahan tata ruang. Yang tadinya bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan,” ungkapnya.
Hal ini dibuktikan oleh sekitar 800.000 ha lahan sawit di kawasan hutan mengantongi izin HGU. Bahkan, terdapat juga lahan rakyat eks transmigrasi yang kemudian masuk menjadi kawasan hutan. “Demikian juga yang rakyat itu sudah ada bersertifikat, malah itu transmigrasi yang sejak 80-an (1980) masuk kawasan hutan,” jelasnya.
Sejatinya rencana pemerintah memutihkan 3,3 juta ha lahan sawit yang berada di kawasan hutan merupakan bagian dari implementasi amanat Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) untuk mempercepat penyelesaian persoalan lahan sawit di kawasan hutan. Semoga kebijakan ini bisa menyelesaikan carut marutnya tumpang tindih lahan sawit di Indonesia. (SDR)