JAKARTA – Dalam sebulan ini terasa hangat di media topiknya rebutan pabrik kelapa sawit (PKS). Antara PKS Konvensional dan PKS Komersial. Makin memanas karena ada dua Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal (Dirjenbun) Kementerian Pertanian (Kementan) penertiban PKS dan pada 2025 harus mengantongi sertifikat ISPO.
Ironisnya lagi, SE tersebut terbit saat Dirjenbun berulang kali dapat panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait jual beli jabatan, semasa Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Kesannya dadakan. Spekulasi pun bermunculan. Apa mungkin SE tersebut imbalan jual beli jabatannya?
Batasan PKS Konvensional adalah PKS yang punya kebun sawit sendiri sekaligus bermitra dengan petani sebagai plasma maupun supplier bahan bakunya. PKS Komersial, tidak punya kebun sendiri, murni bermitra dengan petani.
SE terkait ISPO wajib 2025 yang diterbitkan oleh Dirjenbun tersebut sama artinya “membunuh” masa depan jutaan petani. Karena hampir semua kebun sawit milik petani belum mengantongi sertifikat ISPO dan 1,8 juta hectare (ha) sawit petani disengketakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dari dua SE ini saja. Nampak jelas bahwa Dirjenbun tidak berpihak ke masyarakat luas yaitu petani. Justru makin membesarkan pemilik kapital besar (kapitalis). Patut diwaspadai jual beli jabatan, ada yang mendanai.
Kajian saya dua tahun ini. PKS Komersial selalu harga beli tandan buah segar (TBS) lebih tinggi Rp200/kg – Rp400/kg dibandingkan PKS Konvensional. PKS di Malaysia beda Rp700/kg – Rp1.000/kg. PKS Konvensional kalah bersaing. Pihak kalah, selalu mencari masalah.
Kalkulasi logisnya. PKS kapasitas 60 ton TBS/jam logikanya menyerap hasil kebun 12.000 – 14.000 ha. Jika laba hanya Rp200/kg. Maka laba didapat PKS 1.000 ton/hari x 300 hari kerja x Rp200/kg TBS = Rp60 miliar/tahun (laba). Padahal investasinya Rp200 miliar/PKS.
Apalagi jika tiada saingan PKS Komersial lalu ambil laba Rp300/kg – Rp400/kg. Praktis laba 1 PKS 60 ton/jam. Antara Rp90 miliar – Rp120 miliar. Kembali modal (ROI) maksimal 2 tahun saja. Artinya keuntungan besar sekali selama ini, tidak mau berbagi lebih adil demi petani.
PKS mengolah 1.000 ton TBS/hari atau 300.000 ton/tahun. Harga CPO Rp12.000/kg. Maka beli TBS setara rendemen 20% setara Rp2.400/kg. Padahal realisasinya dapat rendemen CPO minimal 23%. Masih dapat kernel 5%, Rp7.000/kg dan cangkang 3%, Rp1.000/kg.
Analisa data di atas. Modal kerja 300.000 ton x Rp2.400/kg TBS = Rp720 miliar/tahun. Biaya olah maksimal Rp100/kg setara 300.000 ton x Rp100.000/ton = Rp30 miliar. Total modal kerja Rp750 miliar/PKS/tahun. Belum lagi jika efisiensi dari cangkang, tankos dan limbah jadi energi.
Omzet CPO 300.000 ton x 23% rendemen x Rp12.000/kg CPO = Rp828 miliar/tahun. Omzet Kernel 300.000 ton x 5% rendemen x Rp7.000/kg = Rp105 miliar/tahun. Omzet Cangkang 300.000 ton x 3% rendemen x Rp1.000/kg = Rp9 miliar/tahun. Total omzet Rp942 miliar/tahun.
Laba didapat Rp942 miliar – Rp750 miliar = Rp152 miliar/PKS/tahun. Padahal investasi 1 unit PKS kapasitas 60 ton/jam maksimal Rp200 miliar. Praktis tidak sampai 2 tahun (Rp200 miliar : Rp152 miliar) kembali modal investasi (ROI) nya. Wajar jika rebutan. Ehm!
Kesenjangan Sosial
Tingginya rasio gini kesenjangan sosial ekonomi (sosek) masyarakat sawit sudah teramat membahayakan, hadir kecemburuan sosial jadi konflik masyarakat luas. Butuh solusi cepat. UU, Peraturan dan Kebijakan adalah perangkat untuk mewujudkan keadilan sosial.
Konkretnya, sebelum ada UU Cipta Kerja. Perkebunan Kelapa Sawit besar diwajibkan 20% adalah milik plasma masyarakat sekitar. Sekarang UU telah berubah, tidak harus wujud plasma kebun sawit. Tapi realisasinya belum juga menggembirakan. DPR RI dan Pemerintah harus hadir membuat solusi konkret lapangan.
Pemerintah hendaknya “mencabut” SE Dirjenbun yang memberangus petani. PKS Komersial adalah penyeimbang agar petani tidak terus jadi kontributor para kapitalis yang tiada puasnya. Pemerintah bijaknya, mengatasi cepat lahan petani yang disengketakan oleh KLHK. (Wayan Supadno/Praktisi Pertanian)