Industri kelapa sawit, industri yang menyumbangkan devisa ekspor hingga Rp600 triliun itu, masih seperti anak tiri di negeri sendiri. Ada yang mengibaratkan, industri sawit seperti angsa bertelur emas.
Sayangnya, angsa itu diminta terus bertelur dan telurnya setiap hari diambil, tapi angsanya sendiri kurang dijaga dengan baik. Masih seperti anak tiri. Tidak jelas orang tuanya siapa, mengadu ke mana jika ada masalah, makanan untuk angsanya pun asal saja.
Selama masih bertelur dan bisa mengerami, tetap dipelihara. Tetapi kalau nanti mati, ya sudah, biarlah semuanya menjadi cerita. Seperti komoditas-komoditas lain yang pernah berjaya di bumi Nusantara.
Pemerintah sebagai regulator sepertinya memiliki perspektif dan point of view sendiri-sendiri. Ada yang concern-nya tentang petani, ada juga yang fokus pada hilirisasi. Ada juga yang mengkhawatirkan perluasan perkebunan sawit akan menghabiskan lahan dan hutan yang ada. Macam-macam sudut pandangnya.
Dan jika di-breakdown, regulasi-regulasi yang diterbitkan bukan memudahkan malah menyulitkan. Menyulitkan siapa? Menyulitkan semuanya. Menyulitkan pengusaha dan petani, menyulitkan industri sawit itu sendiri. Regulasi yang memudahkan dan mendorong kemajuan industri sawit Indonesia masih jauh panggang dari api.
Pelaku usaha dan petani kelapa sawit juga berhimpun dengan berbagai asosiasi. Banyak sekali. Yang pelaku usaha di sektor hulu berkumpul di asosiasi hulu, yang produsen makanan minuman berhimpun sendiri, yang produsen biodiesel juga memiliki asosiasi sendiri.
Begitu pula dengan petani kelapa sawit, banyak juga asosiasinya. Bagus banyak asosiasi dan banyak yang peduli dengan industri sawit. Tetapi kalau arah yang dituju berbeda-beda, bagaimana bisa sampai di tujuan tersebut. Inilah yang terjadi di industri sawit Indonesia hingga hari ini.
Bersyukur, ada inisiatif baru untuk mewadahi ragam kepentingan dan mensinergikan arah yang berbeda-beda tadi. Inisiatif ini datang dari para pemangku kepentingan industri sawit yang benar-benar Merah Putih. Tidak tega melihat industri sawit begini-begini saja, di-kuyo kuyo, dan tidak memiliki dirigen yang mengarahkan langgam dan lagu yang akan dinyanyikan.
Dalam sebuah kelompok paduan suara, peran dirigen sangat penting, agar semua alat musik yang dimainkan oleh mereka yang ahli, tidak menghasilkan suara yang sumbang. Peran dirigen pada industri sawit Indonesia inilah yang menjadi niat dan tujuan mulia dari lahirnya sebuah asosiasi baru yang bernama Rumah Sawit Indonesia atau RSI.
Pemerintah sudah seharusnya mendukung inisiatif ini, mendukung keberadaan RSI. Asosiasi yang juga mendapatkan dukungan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit besar baik BUMN maupun swasta ini akan menjadi mitra strategis pemerintah.
Beban tugas pemerintah akan lebih ringan dengan membangun sinergi dan kolaborasi jangka panjang dengan RSI. Karena RSI yang merangkul semua pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit, termasuk para petani kelapa sawit. Jadi, tidak hanya memperjuangkan kepentingan di sektor hulu atau hilir an sich.
Rumah Sawit Indonesia adalah oase bagi industri sawit Indonesia. Datanglah ke RSI, diskusikan semua isu dan persoalan, pecahkan bersama-sama, minta dukungan kebijakan pemerintah, dan dalam waktu sekejap kita akan melihat wajah industri sawit Indonesia yang semakin digdaya tidak saja di dalam negeri, tetapi juga dalam konstelasi ekonomi dunia. (LIA)