Kita bersyukur. Indonesia tumbuh hebat. Indonesia diprediksi oleh banyak tokoh dunia akan menjadi salah satu dari lima negara terkuat di dunia. Utamanya pada kekuatan militer dan ekonominya, Produk Domestik Bruto (PDB). Syarat utamanya agar terwujud, mampu memberdayakan bonus demografi dengan iklim usaha menarik bagi investor. Berikut ini tantangan yang mesti dapat prioritas:
- Pendapatan Per Kapita
PDB kita memang tinggi yaitu USD1,4 triliun menempati peringkat ke 16 karena setara dengan 1,4% PDB global. Tapi pendapatan per kapita tergolong rendah hanya sekitar Rp5,9 juta per bulan. Erat kaitannya dengan keadilan yang belum terwujud ditandai rasio gini 0,388, kesenjangan ekonomi sangat tinggi.
Multi sebab, yang pasti perbedaan pendapatan yang beda jauh erat kaitannya dengan mutu manusianya, kesehatan dan pendidikannya. Ada yang tiada berpendapatan tiap bulannya karena menganggur. Ada juga yang pendapatan per bulannya puluhan miliar karena punya perusahaan puluhan. Padahal sesama orang Indonesia.
- Kemiskinan dan Pengangguran
Jumlah kemiskinan Indonesia 25,9 juta setara 9,36%. Jika acuannya Bank Dunia lebih banyak lagi. Jumlah pengangguran kita 7,9 juta dan TKI legal ilegal 9 juta orang. Ketiga hal ini erat kaitannya. Artinya ada TKI 9 juta orang dan kemiskinan jumlah tinggi disebabkan karena tanpa berpendapatan atau menganggur.
Bagi yang miskin dan menganggur, solusinya bukan bantuan sosial (bansos). Tapi adanya lapangan kerja atau dikaryakan/diberdayakan agar produktif. Konkret solusinya perbanyak manusia pencipta lapangan kerja (pengusaha). Sayangnya jumlah pengusaha kita hanya 3,47% saja. Jauh dari jumlah pengusaha Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand, mereka di atas 4,3%.
- Ketahanan Pangan dan Swasembada Pangan
Ketahanan pangan sangat berbeda dengan swasembada pangan. Kalau ketahanan pangan memenuhi lima unsur utama yaitu harga terjangkau, stabil, mudah diakses, tersedia melampaui kebutuhan dan berkualitas. Sayangnya ketahanan pangan Indonesia kalah dibanding Singapura, Malaysia dan Vietnam.
Swasembada pangan Indonesia, justru punya portofolio resiko sangat tinggi ditandai kurang luas sawah di Indonesia. Idealnya kita punya 500 meter per kapita agar swasembada pangan utama atau setara Indonesia harus punya sawah 13,3 juta hektare (ha), sayangnya kita hanya punya 7,1 juta ha. Solusinya perluasan lahan pangan atau food estate secepatnya dan seluas mungkin.
Jika tanpa solusi persis “manajemen sarung”. Jika ditarik ke atas lutut Nampak, tapi jika ditarik ke bawah “burung pipit” nampak. Jika beras dikejar harus swasembada, maka jagung kedelai dan palawija impor makin besar. Lahan sempit inilah jadi sebab petani 49,8% miskin dan rentan miskin (Kemenko PMK). Ironisnya lagi, di mana sentra padi jagung kedelai, di sana serapan raskin tinggi.
Pemandangan di kelopak mata 49,8% petani miskin dan rentan miskin itulah penyebab kita kehilangan lebih 3 juta KK petani 10 tahun terakhir (Sensus Pertanian, 2023). Itu pula jadi sebab kenapa petani usia di bawah 43 tahun, hanya 23% saja (Sensus Pertanian, 2023). No farmer, No food, No life. Tiada petani, tiada pangan, tiada kehidupan.
Kesimpulan, Bonus Demografi diberdayakan. Caranya bangun SDM pengusaha cipta lapangan kerja. Bangun iklim usaha yang menarik ‘jangan menjengkelkan investor’ beri kemudahan birokrasi. Iklim hilirisasi inovasi agar kompetitif. Agar indeks kemudahan berusaha di Indonesia bukan cuma peringkat ke 6 di Asean dan ke 73 di Dunia.
Jika ada 1% saja pengusaha baru, setara 2,7 juta orang. Maka butuh karyawan 27 juta orang jika indeks hanya 10 orang karyawan per pengusaha. Pengangguran dan TKI jadi nol. Serapan hasil riset yang tidur di lemari, agar bermanfaat kepada masyarakat donatur riset tersebut melalui membayar pajak (APBN). Agar indeks kompleksitas ekonomi tidak cuma peringkat ke 61 saja.
* Penulis adalah Praktisi Pertanian