JAKARTA – Pelan tapi pasti persepsi masyarakat Eropa tentang kelapa sawit mulai berubah. Dari sepenuhnya negatif, menjadi lebih netral, hingga akhirnya positif. Sebuah film dokumenter karya sutradara asal Denmark berjudul Palm Oil in The Land of Orangutans menjadi oase di tengah kampanye hitam sawit yang makin masif.
Mungkin ini kali pertama dan satu-satunya. Sebuah film asli Eropa tetapi menggambarkan industri sawit Indonesia dengan cukup objektif. Dan Sal dan Ulirk Gutkin, keduanya warga negara Denmark, berkolaborasi sebagai sutradara dan produser untuk menghasilkan film Palm Oil in The Land of Orangutans. Film berdurasi 72 menit telah ditayangkan perdana di Kopenhagen, Denmark.
“Film ini memiliki potensi besar untuk berkontribusi positif dalam menanggapi kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit Indonesia di Uni Eropa, termasuk di Denmark,” kata Duta Besar RI di Denmark, Dewi Savitri Wahab, dalam pernyataan resminya di Kopenhagen pada Minggu (24/3/2024) dan dimuat laman bpdpks.or.id, Selasa (2/4/2024).
Baca Juga:
Film Palm Oil in The Land of Orangutans menceritakan tentang perjalanan Direktur Program lnternasional Copenhagen Zoo, Carl Tareholt, ke Indonesia. Tareholt mengunjungi perkebunan sawit milik pengusaha Denmark, United Plantation, yang berlokasi di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Digambarkan, United Plantation telah menjalankan proyek rehabilitasi hutan berupa penyediaan hutan koridor seluas 318 hektare (ha) yang menghubungkan area perkebunan sawit dengan hutan lindung di sekitar Taman Nasional Tanjung Puting.
Hutan koridor tersebut terbukti berhasil yang dibuktikan dengan: (1) peningkatan jumlah spesies hewan yang melakukan pergerakan melalui koridor, termasuk penambahan jenis burung di sekitar perkebunan sawit. (2) Peningkatan jumlah koloni masing-masing spesies seperti tikus, ular, dan bagi. (3) Hutan koridor dan perkebunan kelapa sawit United Plantation telah menjadi habitat orangutan.
“Terdapat footage di mana CEO Copenhagen Zoo menyebutkan bahwa dirinya yang semula skeptis terhadap industri kelapa sawit menjadi sadar bahwa pertanian industrial dapat berdampingan secara produktif dengan lingkungan,” kata Dewi dalam pernyataan tertulisnya.
Film tersebut juga memuat tentang aspek ekonomis dan sosial industri kelapa sawit di mana banyak petani kecil Indonesia merasakan peningkatan kesejahteraan setelah bergabung dengan sistem plasma pertanian sawit.
“Tidak terdapat hal-hal yang menyudutkan Pemerintah Indonesia dan sebaliknya, film ini justru mempromosikan upaya yang mendukung prinsip-prinsip keberlanjutan dalam industri kelapa sawit di Indonesia,” kata Dewi.
Kata Dewi, KBRI Kopenhagen, Copenhagen Zoo, dan pihak produser film telah sepakat untuk mempromosikan film ini secara lebih luas. Kehadiran film ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menangkal kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit Indonesia di Uni Eropa, termasuk di Denmark. (LIA)