JAKARTA – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengusulkan agar program Minyakita dihapus dan diganti dengan skema Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat kurang mampu. Pasalnya sistem yang dilaksanakan saat ini kurang efektif dan menimbulkan distorsi di pasar. Apalagi Minyakita telah mendominasi pasar sejak 2022 hingga sekarang ini. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip kompetisi sehat.
“Ini model minyak goreng begini, apa kita tetap pertahankan? Sudah mau empat tahun, waktu itu 2022, 2023, 2024, dan sekarang 2025. Ini sudah menyalahi regulasi. Jadi di pasar itu sudah dominan Minyakita dibandingkan dengan minyak yang lain. Jadi sudah tidak ada kompetisi,” kata Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga pada acara Buka Bersama di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Sahat juga mengingatkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menekankan pentingnya persaingan pasar dan menghindari monopoli. Oleh karena itu, ia mengajak pemerintah untuk mencari solusi terbaik demi kepentingan nasional.
Baca Juga: Sunat Takaran, Tiga Produsen Minyakita Ditindak Tegas
Sahat pun menyebut Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun harga minyak goreng di dalam negeri masih tinggi. Dia menganggap ini sebagai sebuah ironi.
“Kita produsen terbesar, kenapa harga minyak goreng kita tinggi? Jadi kalau saya berpendapat, pemerintah lah yang harus membuat regulasi, bahwa produk minyak untuk domestik harusnya dibedakan dengan minyak untuk ekspor,” jelasnya.
Menurutnya, minyak mentah atau crude palm oil (CPO) untuk kebutuhan domestik harus di level harga yang lebih rendah. “Minyak untuk domestik itu harus rendah nilainya, karena kita lah sumber yang tertinggi. Nah, minyak untuk ekspor itu juga harus diregulasikan, jangan diserahkan kepada perusahaan asing untuk mengatur harga kita,” terang dia.
Baca Juga: Polisi Tetapkan Satu Tersangka Kasus Penyunatan Takaran Minyakita
Untuk itu, Sahat mengusulkan agar bantuan bagi masyarakat miskin tidak lagi diberikan dalam bentuk produk Minyakita, melainkan berupa BLT.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia mencapai 281,6 juta jiwa, dengan 9,03% atau sekitar 25,4 juta orang berada dalam kategori berpendapatan rendah. Dengan asumsi konsumsi minyak goreng mereka 8 kg per kapita per tahun, kebutuhan totalnya mencapai sekitar 100.000 ton per tahun.
“Nah, pembagiannya itu jangan berupa produk, lebih baik BLT, jadi Bantuan Langsung Tunai. BLT itu daftarnya kan ada di Departemen (Kementerian) Sosial, ya kita berikan ke Departemen (Kementerian) Sosial,” usul Sahat.
Ia menegaskan, pendanaan program ini tidak perlu membebani anggaran pemerintah. “Dananya dari mana? Tidak usah dari pemerintah, itu dari levy (pungutan ekspor minyak sawit) saja kita ambil. Bahwa pemerintah akan menarik levy misalnya sebesar USD1. Itu kita tahu lah tujuannya itu untuk apa,” ucapnya.
Sahat juga menilai, harga Minyakita seharusnya tidak dipatok pada Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp15.700 per liter, melainkan dilepas ke harga pasar sekitar Rp18.000 per liter. “Nggak usah ada Minyakita lagi. Lepas saja harga mekanisme pasar,” ujarnya.
Jika menggunakan system BLT, maka Sahat mengusulkan agar kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan kuota ekspor juga dihapuskan. “Sudah katakanlah Rp17.000 atau Rp18.000 per liter, udah semuanya harga minyak goreng standar Rp17.000 atau Rp18.000 per liter. Cuma untuk ke masyarakat tertentu yang kekurangan, mereka dikasih uang tunai,” katanya.
Baca Juga: Tak Hanya di Jakarta, Minyakita Kurang dari 1 Liter Juga Ditemukan di Solo
Sementara itu, ia juga menegaskan, meskipun DMO dihapus, pasokan dalam negeri tetap akan terpenuhi. “Kalau dia mau ekspor, mau ke mana dia ekspor? Kalau dia punya jalur. Kalau dia nggak punya jalur ekspor, dia akan menuhi dalam negeri. Karena dari 83 perusahaan produsen minyak goreng itu paling cuma 10 yang eksportir. Nah, yang 70 ini menjual hak ekspornya ke eksportir,” paparnya.
Dengan menghapus DMO dan Minyakita, Sahat percaya pasar akan berjalan lebih seimbang tanpa perlu campur tangan berlebihan dari pemerintah. “Minyak goreng dalam negeri tercukupi, karena margin dia bagus kok. Orang kan yang penting margin. Kalau dia punya jalur ekspor, ya dia ekspor. Kalau nggak punya, ya jual dalam negeri,” katanya. (SDR)