JAKARTA – Keberlanjutan program mandatori biodiesel akan menjamin tercapainya kemandirian energi. Karena itu, pemerintah dan pelaku usaha harus mendukung peta jalan yang disusun oleh pemerintah di mana tahun ini pencampuran diesel dengan minyak sawit mencapai 40% dan meningkat menjadi 50% tahun depan.
Namun demikian, pemerintah juga harus memikirkan skema pembiayaan yang lain di luar pungutan ekspor CPO. “Pungutan ekspor dibutuhkan untuk menjamin keberlanjutan program mandatori biodiesel dan peningkatan produktivitas petani,” kata Prof Dr Imron Mawardi, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga, kepada SAWITKITA.
Namun demikian, kata dia, pungutan ekspor CPO menjadi 10% dari 7,5% memang cukup tinggi, karena setara dengan kenaikan 33,33%. Ini tentunya akan membuat daya saing CPO dengan minyak nabati yang lain melemah, yang ke depan juga bisa mengancam eksistensi CPO. “Karena itu, pemerintah harus memikirkan subsidi biodiesel tidak hanya mengandalkan pungutan ekspor CPO,” kata Imron.
Baca Juga: Tekan Emisi Global, Program B40 Dipuji Malaysia
Sebab, kata dia, kebutuhan subsidi biodiesel akan terus meningkat. Apalagi ke depan pemerintah juga menargetkan penggunaan bahan bakar nabati untuk biodiesel hingga 50% (B50), tentunya memerlukan subsidi yang lebih besar lagi.
“Apalagi dari segi kuantitas, subsidi biodiesel juga terus meningkat. Misalnya, tahun ini pemerintah menargetkan subsidi biodiesel hingga 15,2 juta kiloliter, meningkat sekitar 16% dari tahun lalu 13,4 juta kiloliter. Dengan begitu, yang harus dipikirkan adalah sustainability program, yang tentunya tidak bisa hanya mengandalkan dari pungutan ekspor CPO yang nilainya tergantung juga pada kuantitas ekspor dan harga CPO,” katanya.
Imron menyarankan, pemerintah bisa mengurangi subsidi dengan pembatasan penggunaan biodisel, sehingga subsidi benar-benar tepat sasaran. Seperti diketahui, pemerintah menetapkan penerapan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40% atau B40 mulai 1 Januari 2025.
Baca Juga: Kementerian ESDM Targetkan Penyaluran B40 Capai 15,6 Juta KL
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengatakan program mandatori BBN ini dapat mengurangi impor BBM, sehingga menghemat devisa. Penghematan devisa untuk B40 sebesar Rp147,5 triliun, sedangkan untuk B35 dapat menghemat Rp122,98 triliun. Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar.
Selain memberikan manfaat secara ekonomi, program mandatori Biodiesel B40 sendiri telah memberikan manfaat signifikan di berbagai aspek sosial, lingkungan termasuk peningkatan nilai tambah crude palm oil (CPO) menjadi biodiesel sebesar Rp20,9 triliun, penyerapan tenaga kerja lebih dari 14.000 orang (off-farm) dan 1,95 juta orang (on-farm), serta pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41,46 juta ton CO2e per tahun.
Sementara itu, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) mencatat realisasi penerimaan pungutan dari ekspor komoditas perkebunan dan produk turunannya pada 2024 mencapai Rp25,76 triliun atau melampaui target yang ditetapkan Rp25 triliun.
“Dana yang kami kumpulkan, terutama yang terbesar, itu dari pungutan ekspor. Artinya, setiap transaksi ekspor CPO (crude palm oil atau minyak sawit mentah) dan produk turunannya dikenakan pungutan ekspor yang besarannya ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,” kata Direktur Utama BPDP Eddy Abdurrachman seperti dikutip kantor berita Antara.
Baca Juga: Kenaikan Harga Minyakita Dipicu Program B40?
Ia menyebutkan ada lima produk turunan kelapa sawit yang tingkat ekspor relatif tinggi, salah satunya adalah refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein yang mencapai 10,4 juta metrik ton.
Kemudian, posisi berikutnya disusul produk minyak sawit RBD sebesar 5,1 juta metrik ton, cangkang sawit sebesar 4,87 juta metrik ton, bungkil inti sawit sebesar 4,48 juta metrik ton, dan minyak sawit mentah (CPO) sebesar 2,7 juta metrik ton.
Pungutan ekspor minyak sawit menjadi instrumen paling efektif untuk menjamin keberlanjutan program mandatori biodiesel yang diharapkan bisa mendukung Indonesia mencapai kemandirian energi. (LIA)