LEMBANG – Berbagai tantangan berpotensi menghambat kinerja industri kelapa sawit Indonesia ke depan. Selain tantangan berupa hambatan dagang baik secara langsung maupun tidak langsung dari negara pesaing, hambatan di dalam negeri tak kalah pelik.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono saat menyampaikan sambutan kunci dalam acara workshop wartawan di Lembang, Bandung Barat, Rabu (23/8/23).
Menurut Eddy, dari tiga hambatan terbesar di industri kelapa sawit Indonesia, salah satunya masalah produksi yang stagnan bahkan cenderung menurun di tengah peningkatan konsumsi khususnya untuk pangan dan oleokimia. “Sangat penting untuk industri kelapa sawit Indonesia meningkatkan produktivitas, melalui program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat),” tegas Eddy.
Menurut Eddy, PSR harus dilakukan seluruh pelaku usaha sawit baik perusahaan maupun petani kelapa sawit mengingat gap antara produktivitas petani dan perusahaan kini masih besar. Untuk itu, pola kemitraan dalam mendorong PSR dan memperbaiki tata kelola sawit petani juga menjadi perhatian khusus perusahaan sawit yang tergabung sebagai anggota GAPKI.
Meningkatnya eskalasi konflik antara masyarakat dan perusahaan dalam beberapa bulan terakhir juga perlu menjadi perhatian yang sangat penting. Kebijakan kewajiban pembangunan kebun masyarakat (FPKM) sebesar 20% telah menyebabkan multitafsir yang mengakibatkan maraknya masalah keamanan berusaha imbas tuntutan sekelompok masyarakat atas FPKM.
“Sesuai dengan Permentan No 26 Tahun 2007, semestinya FPKM tidak berlaku bagi perusahaan yang sudah bermitra dan sudah mempunyai hak tanah sebelum tahun 2007,” papar Eddy.
Belum lagi, kini banyak kebun kelapa sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan. Saat ini, telah dikeluarkan 13 SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang menyebutkan ada 2.321 unit usaha dengan luasan 1.907.000 hektare (ha) yang diidentifikasikan sebagai kawasan hutan.
Perusahaan tersebut kalau sudah mempunyai perizinan di bidang kehutanan akan mengikuti penyelesaian pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Sementara perusahaan-perusahaan yang tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan dan tidak sesuai dengan tata ruang akan mengikuti penyelesaian pasal 110B dan diharuskan membayar denda dan hanya boleh beroperasi dalam satu siklus saja.
Ketidakpastian sikap pemerintah terhadap produk yang dihasilkan oleh pemerintah sendiri yakni berupa Hak Guna Usaha (HGU) dan Serifikat Hak Milik (SHM) di tengah maraknya konflik perusahaan dan masyarakat dikhawatirkan dapat berdampak pada iklim investasi industri kelapa sawit.
Di tengah hambatan dagang yang harus dihadapi industri kelapa sawit nasional, sektor ini tetap memberikan peran yang sangat penting terutama dalam penerimaan devisa negara. Tahun 2022, industri kelapa sawit menyumbang devisa sebesar USD39,07 miliar atau sekitar Rp600 triliun. Ini merupakan pencapaian ekspor tertinggi kelapa sawit sepanjang sejarah. (SDR)