BALI – Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) akan terus terbang tinggi hingga tahun depan. Tingginya permintaan ditengarai menjadi pemicu melambungnya harga minyak nabati asal sawit ini.
“Di sisi lain produksi CPO di Indonesia mengalami stagnasi. Itulah mengapa harga terus mengalami kenaikan,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono di sela acara 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC 2024) yang di Bali International Convention Center, The Westin Resort, Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11/2024).
Apalagi, kata dia, Indonesia pada 1 Januari 2025 mendatang bakal meningkatkan mandatori biodiesel dari B35 menjadi B40. Peningkatan ini menyebabkan pasokan CPO ke pasar ekspor menjadi berkurang setidaknya 2 juta metrik ton pada 2025.
Baca Juga: Kemenangan Trump Ciptakan Goncangan Pasar Minyak Nabati Dunia
Gapki memproyeksikan produksi CPO di dalam negeri turun sekitar 5% pada 2024. Di atas kertas, kenaikan harga CPO dapat menjadi momentum bagi para produsen sawit untuk mendongkrak kinerja keuangannya. Namun, Gapki menilai bahwa para produsen sebenarnya menginginkan harga CPO yang relatif stabil.
Jika harga CPO terus-terusan melambung, risikonya juga cukup besar. Misalnya, harga minyak goreng juga bisa ikut melonjak, sehingga berpotensi mengerek inflasi.
Dalam konteks implementasi B40, kenaikan harga CPO tanpa terkendali juga kurang baik jika dibarengi oleh penurunan harga minyak mentah. “Akibatnya, dana insentif untuk B40 jadi naik karena selisih harga CPO dan minyak mentah terlalu lebar, sehingga ujung-ujungnya bisa mengganggu insentif pendanaan untuk replanting,” kata Eddy Martono.
Baca Juga: Khawatir Suplai Sawit Tak Menentu, Importir Siapkan Alternatif
Mengutip situs Trading Economics, harga CPO berada di level RM 5.131 per ton pada Senin (11/11/2024) pukul 14.30 WIB. Harga CPO telah melonjak 18,57% month to month (mtm) atau sebulan terakhir. Dalam satu tahun terakhir, harga CPO melesat 31,02% yoy.
Eddy Martono mengatakan, tren kenaikan harga CPO di pasar global diprediksi akan terus berlanjut setidaknya sampai kuartal I/2025 nanti. “Kemungkinan harga CPO tetap di level yang tinggi di kisaran RM 5.000 per ton,” kata dia.
Hal yang sama dikatakan Executive Director ISTA Mielke Gmbh, Thomas Mielke. Menurutnya, harga CPO) diproyeksi kian meningkat pada 2025. Hal ini seiring dengan rencana pemerintah menerapkan biodiesel 40% (B40), yang berpotensi berdampak terhadap pasokan CPO global.
Baca Juga: Gawat! Importer Utama Kurangi Pembelian CPO Indonesia
Pasalnya, penerapan B40 di tengah permasalahan stagnasi produksi CPO akan berdampak terhadap kuota ekspor pengusaha Tanah Air. Padahal, CPO Indonesia saat ini berkontribusi terhadap 23% minyak nabati dunia dan 58% produksi CPO dunia.
“Bila pemerintah Indonesia memaksakan program B40, maka harga minyak nabati seperti CPO dan soya akan mengalami kenaikan setidaknya 10-15% untuk memenuhi permintaan bagi sektor pangan maupun lainnya,” ujar Thomas Mielke
Mielke mengatakan, peningkatan harga akan membuat para produsen biofuel enggan memakai CPO sebagai bahan baku utama. Sebab, beberapa industri biofuel di Amerika maupun Eropa tengah mengalami tekanan secara kinerja keuangan.
Baca Juga: GAPKI Prediksi Ekspor CPO di 2024 Turun, Analis: Akan Picu Kenaikan Harga
Bahkan, Brasil berniat memundurkan program mandatori biodiesel jika harga terus menanjak. Menurutnya, kenaikan harga minyak nabati akan dimanfaatkan oleh produsen canola, rapeseed, dan sunflowers untuk memperluas wilayah.
Sementara itu, Director Godrej International Ltd, Dorab Mistry, memperkirakan harga CPO pada semester I/2025 berpotensi menembus level 5.000 ringgit Malaysia per ton.
Peningkatan harga terjadi seiring menurunnya produksi di Indonesia dan Thailand. “Bila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut, akan berdampak pada level kompetitif dengan minyak nabati lainnya,” katanya.
Managing Director Glenauk Economics, Julian McGill, bilang, saat ini CPO termasuk dalam minyak nabati premium seperti rapeseed. Kenaikan harga CPO adalah refleksi dari minimnya ketersediaan di pasar.
“Perlambatan pertumbuhan lahan perkebunan menyebabkan pasokan minyak sawit menjadi stagnan. Lihat, ekspor minyak sawit mencapai puncaknya pada 2019 dan tidak pernah kembali ke level tersebut,” ucapnya. (SDR)