JAKARTA – Penjarahan kelapa sawit marak terjadi pasca penyegelan dan penyitaan ribuan hektare kebun sawit di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang dilakukan oleh Satgas Garuda Penertiban Kawasan Hutan. Aksi ilegal para penjarah ini jika tidak dihentikan dikhawatirkan bakal mengganggu produktivitas industri kelapa sawit dalam mendukung perekonomian nasional.
Pakar hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia Dr Sadino mengingatkan, aksi penjarahan bisa menjalar ke wilayah lain terutama wilayah yang dipasang plang penyitaan. “Ini yang saya khawatirkan kejadian ini akan menjalar ke wilayah lain yang terutama yang dipasang plang. Berarti perintah Presiden Prabowo Subianto tidak terpenuhi yang meminta agar tidak mengganggu produksi dan keberlanjutan (industri sawit),” kata Sadino di Jakarta, Senin (17/3/2025).
Sadino mengungkapkan aparat pemerintah memiliki keterbatasan jangkauan dan pendanaan sehingga penjagaan tidak menjangkau seluruh kawasan karena luasnya lahan sawit dan terpencar-pencar. Sedangkan pendekatan pengamanan oleh TNI bukan merupakan tupoksinya. Bagi perusahaan tentunya hal ini menjadi keraguan karena Perpres No 5 Tahun 2025 memungkinkan negara mengambil alih lahan sawit meskipun tidak diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK).
Baca Juga: Aparat Diminta Tegas Tindak Penjarahan Kebun Sawit
“Kekhawatiran saya tentu dikuasai negara berarti rakyat bisa menafsirkan untuk ikut mengambil hasil kebunnya, sehingga yang terjadi akan berebut lahan kebun. Ini namanya dampak sosial yang kurang diperhatikan oleh Satgas,” terang Sadino.
Menurut Sadino, aparat keamanan seharusnya tidak perlu memasang plang penguasaan sebelum status lahannya jelas dan clear. Karena negara juga akan kesulitan mengatasi kesulitan masalah sosial. “Perusahaan akan lebih tidak berdaya karena diambil alih lahannya berarti tidak ada hak lagi di situ atau bagaimana posisinya perlu diperjelas oleh Satgas. Jika menggerakkan keamanan dari TNI tentu akan menjadi masalah yang baru,” paparnya.
Sadino berpandangan pengambilalihan lahan perkebunan oleh Satgas bertentangan dengan Pasal 110A dan 110B UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Apalagi yang diambil lahan yang sudah mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) pasti akan lebih menjadikan investor tidak tertarik untuk investasi di sektor perkebunan.
Baca Juga: “Ninja Sawit” Bawa Senjata Api Jarah Kebun Warga
Menurut Sadino, kedudukan hukum Satgas bisa diperdebatkan dalam penegakan hukum. “Siapa yang berhak atas lahan kebun dimaksud yang dijarah. Proses ambil alih tidak mudah dan harus clear tentang hak dan kewajiban antara pemilih lahan sebelumnya dengan Satgas. Artinya kedudukan hukum masih rancu,” jelasnya.
Dia berharap keberadaan Satgas tidak mengganggu produksi dan produktivitas kebun sawit. Jangan malah sebaliknya Satgas justru membuat usaha perkebunan menjadi terganggu keberlanjutannya. Karena itu, Satgas harus memilah sumber izin pelaku usaha.
“Jangan hanya ikut Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Saya sangat berharap agar tidak mengganggu perekonomian mesti dipilah yang sudah ada hak atas tanah seperti SHM (sertifikat hak milik),HGB (hak guna bangunan) dan HGU (hak guna usaha) adalah bukan kawasan hutan harus dikeluarkan,” tegas Sadino. Sekitar 3,4 juta hektare dari total 16 juta hektare kebun sawit berada di dalam kawasan hutan, baik dalam kuasa perusahaan maupun warga.
Sumbangan sektor sawit bagi perekonomian nasional sangat besar. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut nilai kapasitas produksi nasional industri kelapa sawit 2023 diperkirakan sebesar Rp729 triliun. Adapun, kontribusi industri sawit ke APBN 2023 mencapai sekitar Rp88 triliun dengan rincian penerimaan dari sektor pajak Rp50,2 triliun, PNBP Rp32,4 triliun, dan Bea Keluar Rp6,1 triliun. Sektor sawit di Indonesia saat ini telah melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja.
Baca Juga: Gubernur Jamin Keamanan Investasi Sawit di Kalteng, asal Pengusaha Baik
Lebih jauh, Sadino mengharapkan lahan sawit yang sedang berproses izinnya harus didukung sampai ada penyelesaian. Dia mengingatkan HGU dan kebun sawit adalah agunan kredit bank. Jika Satgas tidak hati-hati dalam menangani, akan dapat berdampak pada permasalahan ekonomi Indonesia.
“Lahan kebun sangat berbeda dengan tambang. Hasil kebun yang tidak terkelola secara benar akan rusak dan produksinya menurun. Sedangkan hasil tambang lebih bisa dipasang plang larangan karena tidak akan berpindah kandungan dalam wilayah tambang,” tandas Sadino.
Adapun, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 36 Tahun 2025 yang berisi 436 perusahaan yang lahan sawitnya masuk dalam kawasan hutan. Daftar 436 korporasi tersebut menjadi rujukan bagi Satgas Penertiban Kawasan Hutan untuk bekerja.
Satgas ini merupakan lembaga yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto lewat Perpres No 5 Tahun 2025 yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan (Menhan). Sudah sebulan ini, Satgas sudah bekerja dan melakukan penyegelan dan penyitaan ribuan lahan sawit di kawasan Kalteng karena dinilai melanggar hukum. (SDR)