JAKARTA – Petani kelapa sawit di Indonesia harus naik kelas. Tantangan global yang semakin tinggi atas tuntutan keberlanjutan, mengharuskan petani kelapa sawit memperkuat aspek pemberdayaan dan kelembagaan. Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) mendukung penuh penguatan peran petani kelapa sawit tersebut.
“Di masa mendatang, petani akan menjadi pemain utama dalam industri sawit Indonesia. Tetapi hal itu bisa tidak tercapai jika petani tidak memperkuat aspek teknis dan kelembagaan,” kata Setiyono, Ketua Umum ASPEKPIR (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat), dalam diskusinya dengan SAWITKITA, Kamis (20/3/2025).
Setiyono mengatakan, ASPEKPIR mendukung petani kelapa sawit bisa mendapatkan sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Namun, perlu dukungan dari pemerintah sehingga akses untuk meraih sertifikat ISPO bisa lebih mudah. Dukungan yang paling utama adalah penguatan kelembagaan sehingga akses untuk mendapatkan sertifikasi ISPO bisa dijangkau oleh lebih banyak petani.
Baca Juga: Kebun Sawit Milik Anggota Koperasi Perkebunan Belayan Sejahtera Terima Sertifikat ISPO
“Ada 16 juta petani kelapa sawit di Indonesia. Tanpa suatu kelembagaan yang kuat, tidak mungkin petani bisa mencapai tata kelola keberlanjutan dalam waktu singkat. Padahal tuntutan globalnya harus cepat,” kata Setiyono.
Setiyono mengatakan, tidak mudah bagi petani kelapa sawit untuk meraih sertifikat ISPO. Sejumlah tantangan yang dihadapi petani antara lain dokumen legalitas lahan yang dikelola, biaya sertifikasi yang mahal, serta rendahnya kesadaran akan pentingnya tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
“Idealnya memang perlu ada kurun waktu khusus untuk sosialisasi dan edukasi secara merata. Baru perbaikan dokumen kepemilikan lahan, proses sertifikasi, dan terakhir dukungan pendanaan dari pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan yang mengharuskan seluruh kebun kelapa sawit, baik milik korporasi maupun petani, untuk memperoleh sertifikasi ISPO. Kebijakan yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 ini mewajibkan petani untuk mengurus sertifikasi tersebut sejak 2020, dengan batas waktu hingga 2025.
Baca Juga: Realisasi ISPO Jauh dari Target, Masih Terkendala Persoalan Klasik
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memastikan bahwa tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang diproduksi dapat diproses menjadi Crude Palm Oil (CPO) yang memenuhi standar keberlanjutan. Namun, hanya sekitar 5% dari total kebun kelapa sawit yang telah memperoleh sertifikasi keberlanjutan tersebut.
Direktur Utama BPDP Eddy Abdurrachman mengatakan, pemerintah sangat mendukung pemberdayaan dan penguatan kelembagaan petani kelapa sawit. Khususnya para petani swadaya yang tidak memiliki “mentor” dalam pengelolaan perkebunan sawit mereka.
Eddy Abdurrachman mengatakan petani swadaya memiliki tantangan yang berat dalam menjalankan perkebunan mereka. Tantangan tersebut antara lain masalah rantai pasok dari perkebunan ke pabrik, infrastruktur yang tidak memadai, produktivitas rendah, kurangnya pengetahuan dan keterampilan untuk praktik pertanian yang baik (Good Agricultural Practices), akses terbatas kepada teknologi terbaru dalam praktik pertanian, serta kurangnya dukungan dalam proses sertifikasi.
“Kami berada di garda terdepan untuk membantu petani kelapa sawit mengatasi berbagai tantangan tersebut,” kata Eddy.
Eddy kembali mengatakan, Indonesia harus memiliki strategi integrasi industri hulu dan hilir sawit. Integrasi antara hulu dan hilir sangat menentukan pencapaian sasaran peningkatan kinerja sektor sawit.
Di sektor hulu untuk upaya peningkatan kesejahteraan rakyat diperlukan peningkatan produktivitas sawit rakyat dilakukan melalui penanaman bibit bersertifikat, dan memberikan pelatihan/pendidikan teknis dan non tekknis serta perbaikan sarana dan prasarana untuk efisiensi biaya produksi dan transportasi dan dukungan terhadap ISPO.
Melalui program pengembangan kapasitas SDM sawit yang dijalankan oleh BPDPKS sejak tahun 2015, 14.924 petani yang telah mengikuti pelatihan, dan 6.265 orang total penerima beasiswa anak petani sawit dengan 3.025 orang yang telah lulus dari program studi Diploma dan Sarjana. Di samping itu, program peremajaan sawit rakyat (PSR) juga sangat penting untuk peningkatan produktivitas kebun swadaya. (NYT)