LEMBANG – EU Deforestation Regulation (EUDR) atau UU anti deforestasi yang dikeluarkan Uni Eropa merupakan cara licik Eropa untuk mengendalikan harga sawit dunia. Karena itu, selain tata kelola, penguasaan pasar keuangan sangat menentukan prospek dan masa depan industri kelapa sawit Indonesia.
“Masa depan industri sawit Indonesia ditentukan oleh siapa yang mengendalikan harga sawit internasional,” kata Eugenia Mardanugraha, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia di workshop wartawan yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang diadakan di Lembang, Bandung Barat, Rabu (23/8 2023).
Menurutnya, EUDR sengaja dibuat untuk mencegah impor produk-produk pertanian dan hutan terkait deforestasi ilegal tersebut tak lebih dari sekadar upaya Eropa menghambat kemajuan industri Indonesia. Termasuk, industri kelapa sawit nasional.
“Dengan regulasi itu mereka berupaya mengendalikan harga sawit internasional,” kata Eugenia. Menurutnya, Indonesia harus menguasai pasar keuangan. Upaya membangun industri ini, tidak cukup hanya dengan mengendalikan pasokan saja.
Semakin maju pasar keuangan atau bursa sawit Indonesia, Eropa (Belanda) semakin kehilangan kekuatan untuk mengendalikan harga. Oleh karena itu, menurutnya, Indonesia harus membangun pasar keuangan sawit yang mapan dan mendukung iklim usaha industri hingga dapat mengalahkan Belanda dan Malaysia.
Yang jelas, beberapa dampak yang akan terjadi sebagai buntut penerapan regulasi itu, di antaranya adalah penurunan permintaan minyak sawit. Penurunan permintaan dapat mengakibatkan penurunan harga sawit dan meningkatkan harga minyak nabati lainnya.
Ekspor Indonesia dan potensi pendapatan dari pasar minyak sawit pun terpengaruh. Dampak berikutnya adalah penyesuaian pasokan. Jika permintaan dari Uni Eropa menurun, menurutnya, produsen dan eksportir sawit Indonesia harus menyesuaikan produksi dan pasokan.
Tekanan Eropa terhadap sawit Indonesia juga diakui Mukhamad Faisol Amir dari Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS). Minyak sawit menjadi satu-satunya minyak nabati yang di-take out dari renewable energy oleh Uni Eropa. “Mereka tidak memasukkan sawit sebagai minyak nabati yang direkomendasikan untuk digunakan dalam memproduksi biofuel,” katanya.
Menurutnya, ini semakin menguatkan alasan Indonesia untuk terus memperkuat posisi di pasar internasional dan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan. “Indonesia harus segera keluar dari ketergantungan pasar dari negara-negara yang menerapkan hambatan dagang seperti Uni Eropa,” kata Faisol.
Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Sementara itu, Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI Fadhil Hasan menyoroti daya saing minyak sawit di pasar global. Ia mengakui bahwa saat ini supply minyak sawit sedang tidak baik-baik saja. Peningkatan produktivitas minyak sawit terus turun sejak 2005 silam.
Sedangkan dari sisi demand ada pergeseran dari ekspor ke domestik. Ekspor mengalami stagnasi atau bahkan negatif. Namun di sisi domestik terjadi peningkatan kebutuhan, terutama untuk biodiesel yang saat ini sudah menjalankan kebijakan B35.
Walaupun Indonesia mengalami penurunan daya saing, menurutnya, tapi harga sawit masih tetap kompetitif. Ada banyak tantangan dan hambatan dalam hal menjaga daya saing minyak sawit Indonesia dari sisi pasokan dan permintaan.
Dari sisi pasokan, kuncinya adalah peningkatan produktivitas. Terutama produktivitas kebun yang dimiliki petani. Karena itu, menurutnya, program replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan penggunaan teknologi yang lebih baik menjadi langkah yang sangat penting. (SDR)