MEDAN – Pemerintah Indonesia dan Malaysia bekerjasama dengan FAO (Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian) akan menyusun suatu standar keberlanjutan (sustainability) global untuk minyak sawit. Ini sebagai upaya Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen minyak sawit terbesar dunia untuk membuat standar keberlanjutan global di luar Uni Eropa.
“Kita telah berdiskusi dengan FAO untuk melakukan studi dalam rangka menyusun suatu standar sustainability untuk palm oil dan cocconut oil,” kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Arief Havas Oegroseno dalam sambutannya pada Konferensi Internasional RSI (Rumah Sawit Indonesia) di Medan, Rabu (19/2/2025).
Havas mengatakan, standar keberlanjutan global yang akan disusun Indonesia dan Malaysia bersama FAO ini sebagai jawaban atas berbagai tuntutan dan tekanan khususnya dari Uni Eropa kepada industri minyak sawit.
“Nanti kita bisa menyampaikan kepada EU bahwa kita sudah memiliki standar sustainability global di tingkat FAO. Jadi bukan hanya EU yang punya standar, tetapi juga ada standar global,” kata Havas.
Baca Juga: Surat Penunjukan Tidak Sah untuk Tetapkan Kawasan Hutan
Havas yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Jerman ini mengatakan, dia sudah meminta kepada CPOPC (Organisasi Negara-Negara Eksporter Minyak Sawit) untuk juga bisa merumuskan standar keberlanjutan global yang bisa dibawa ke tingkat FAO.
“Sehingga kita memiliki standar keberlanjutan global dengan tingkat keberterimaan yang lebih luas,” kata Havas.
Dalam paparannya di depan ratusan peserta Konferensi Internasional RSI, Havas juga menjelaskan alasan ditundanya pemberlakuan EUDR (Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa).
“Uni Eropa tidak pernah menjelaskan secara terbuka alasan penundaan tersebut. Namun dari diskusi saya dengan sejumlah di Uni Eropa, ada lima alasan penundaan tersebut,” katanya.
Kelima alasan penundaan EUDR, menurut Havas, yaitu pertama, EUDR terlalu kompleks, rigid dan detail sehingga jika diterapkan bisa menimbulkan implikasi-implikasi yang berat. Bahkan industri kayu Eropa juga keberatan dengan pemberlakuan EUDR.
Kedua, karena tekanan politik di mana sekarang banyak partai kanan berkuasa di Eropa dan cenderung untuk menentang kebijakan-kebijakan yang complicated. Ketiga, karena tantangan operasional dan teknologi di mana teknologi satelit yang digunakan Uni Eropa bukanlah teknologi yang terlalu canggih.
“Nyatanya satelit EU menggambarkan tarmac di Bandara Soekarno Hatta sebagai korban deforestasi. Bahkan ada kebun pisang yang dibaca satelit EU sebagai tropical forest. Ini jelas memberatkan dari sisi enforcement dan compliance,” kata Havas mencontohkan.
Dua alasan lain penundaan EUDR, kata Havas, adalah alasan ekonomi dan kewajiban bagi petani (smallholders) yang menjadi eksporter untuk memenuhi standar yang diberlakukan bagi industri besar. Dan alasan kelima, karena adanya ketidaksesuaian antara EUDR dengan peraturan Uni Eropa lainnya. (SDR)