KARACHI – Pada 2022 lalu, di tengah kelangkaan minyak goreng yang dialami banyak negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menceritakan ada seorang pejabat tinggi yang menelpon dan memohon agar membuka keran ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia ke negaranya.
Kala itu Indonesia tengah memberlakukan kebijakan larangan ekspor akibat kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Presiden ingin semua pihak membenahi dan menanggulangi kondisi tersebut.
Kengerian terjadi kala itu di Indonesia, harga minyak goreng selangit, ibu-ibu berebut minyak goreng karena langka. Namun ironisnya tanki penyimpanan crude palm oil (CPO) juga penuh lantaran dilarang ekpor dan petani mengantre berhari-hari sambil merelakan buahnya membusuk perlahan.
Di belahan dunia lain, Pakistan yang merupakan negara terpadat ketiga di Asia dan dengan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia yakni sebesar 235 juta jiwa juga mengalami kepanikan. Bagaimana tidak, cadangan minyak sawit yang merupakan salah satu kebutuhan pangan utama mereka, saat itu diperhitungkan hanya cukup untuk kurang dari satu minggu saja. Jika sampai habis, maka negara tersebut akan mengalami krisis pangan yang memicu gelombang lonjakan harga dan lebih parah lagi memicu krisis sosial dan ekonomi.
Inilah yang digambarkan ketika Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mendengarkan kisah Abdul Raseed Jan Muhammad seorang tokoh sekaligus pelaku bisnis Pakistan dalam sambutan makan malamnya bersama para stakeholder sawit di Karachi, Pakistan, Sabtu (13/1/2024).
Pria yang akrab disapa Jan inilah yang pontang-panting memohon visa untuk mengunjungi Indonesia dan menemui pejabat pemerintah Indonesia untuk melakukan lobi agar membuka keran ekspor ke Pakistan 2022 lalu. Beruntung, kabar baikpun akhirnya tersiar melalui media pasca kunjungan Jan, kala itu. Disepakati, Indonesia mengirimkan 2,5 juta metrik ton ke Pakistan dalam dua pekan.
Menurut Jan yang juga merupakan CEO Westbury Grup, dalam Pakistan Edible Oil Conference (PEOC) lalu menyatakan, Pakistan membutuhkan 4,5 juta ton minyak nabati setiap tahunnya, namun negara ini hanya mampu memproduksi 0,75 juta ton. Selebihnya atau sekitar 3 juta ton berupa kelapa sawit diimpor dari Indonesia.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono menyebutkan pada 2022 total ekspor kelapa sawit dan turunannya ke Pakistan mencapai 2,78 juta ton setara dengan USD3,1 miliar. Sedangkan per Oktober 2023, ekspor kelapa sawit ke Pakistan mencapai 2,24 juta ton atau USD2,1 miliar.
“Pakistan adalah pasar yang potensial dan saya yakin akan terus berkembang. Untuk itu harus diperhatikan dan dikembangkan dalam berbagai perjanjian perdagangan yang saling memberikan manfaat bagi kedua negara,” tegas Eddy.
Kampanye Negatif
Jika kebutuhan akan kelapa sawit tak bisa dihindari, maka begitu pula dengan isu negatif yang kian santer digaungkan sebagai bagian dari perang dagang minyak nabati global. Kendati secara produktivitas dan keserbagunaan sawit tak dapat diungguli oleh minyak nabati lainnya, namun isu negatif untuk menekan industri yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia ini terus digencarkan. Tak terkecuali kepada warga Pakistan, terutama para generasi muda.
Itulah yang tergambar saat mengadakan kuliah umum di Institute of Business and Admisnistration (IBA) of Karachi, Pakistan. Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI Fadhil Hasan pun meluruskan isu-isu yang mengemuka. Terkait isu deforestasi dan dampak ekspansi kelapa sawit terhadap orang utan menjadi sorotan utama.
Tak hanya itu, potensi pengembangan dan riset kelapa sawit di Pakistan dengan menggunakan bibit yang menghasilkan tanaman kelapa sawit yang membutuhkan lebih sedikit air juga turut dibahas dalam kesempatan tersebut.
Sama halnya seperti India dan China yang telah terlebih dahulu mengembangkan kelapa sawit, wacana agar Pakistan juga mengembangkan sawit sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan domestik kini juga mengemuka.
Konjen Republik Indonesia di Pakistan, June Kuncoro Hadiningrat mengatakan, Pakistan memiliki banyak potensi perdagangan dengan Indonesia. Perdagangan ini bisa menguntungkan kedua negara. “Saat ini ada jeruk Pakistan. Mereka juga punya kurma walau kecil-kecil, tapi cukup bagus untuk industrm,’ ujar June.
Kemudian, lanjut June, Pakistan juga memiliki beras yang kualitasnya baik dan juga bawang merah yang cocok untuk salad karena manis. Di sisi lain hasil produk Indonesia juga dibutuhkan di sini selain kelapa sawit, seperti mangga, alpukat dan lainnya. “Maka pemerintah terus menggalakan kerja sama perdagangan yang serius dengan Pakistan yang memberikan keuntungan bagi kedua negara,” tegasnya.
Terkait dengan kampanye negatif, Indonesia dan Pakistan memiliki hubungan sejarah yang baik. Namun memang terkait promosi dan kampanye positif semua pihak harus bersama-sama dalam melakukan advokasi ini agar industri kelapa sawit dan umumnya seluruh produk Indonesia bisa diterima, dihargai dan memiliki product value di luar negeri. (SDR)