JAKARTA – Produk sawit Indonesia dapat memenuhi pertumbuhan kebutuhan minyak nabati dunia yang mencapai 307,9 juta ton pada 2050. Beragam keunggulan minyak sawit harus dimaksimalkan pengembangannya agar semakin kompetitif dibandingkan minyak nabati non sawit.
Saat ini, Indonesia telah berkontribusi 22% dari total produksi minyak nabati dunia dan 60% lebih dari produksi minyak sawit dunia. “Dengan produksi minyak sawit dunia mencapai 75,5 juta ton. Indonesia harus bangga menjadi produsen terbesar dengan total produksi 46,88 juta ton pada 2021.
Berikutnya Malaysia sebesar 18,7 juta ton,” ujar Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Farid Amir pada acara Promosi Sawit Sehat di Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Farid Amir menjelaskan tingginya produksi sawit memperkuat dukungan terhadap kinerja ekspor non migas Indonesia. Pada 2022, ekspor non migas Indonesia senilai USD275,96 miliar. Dari nilai tersebut, share ekspor CPO dan produk turunannya sebesar 15% atau senilai USD41,32 miliar.
Dari catatan Kemendag, tren peningkatan nilai ekspor CPO dan produk turunannya selama 5 tahun terakhir adalah sebesar 20%. Sementara itu, nilai ekspor CPO dan produk turunan Indonesia sebesar USD41,32 miliar pada 2022 dan volume ekspor berjumlah 35,52 juta ton. Walaupun tren ekspor sawit terus tumbuh, Indonesia menghadapi tantangan dan hambatan berat di negara tujuan ekspor.
Farid menjelaskan sektor sawit Indonesia memiliki tantangan untuk mempercepat transisi dari Konsep 3 Pilar Sustainability (economy, society, environment) menuju sistem circular economy. Adapula sejumlah isu yang dihadapi produk sawit seperti isu terkait Genetically Modified Organism (GMO) food pada minyak nabati.
Sekampanye negatif oleh oleh NGO, negara, atau perusahan produsen minyak nabati lainnya, dan isu lingkungan dan sosial terkait perkebunan kelapa sawit serta isu kesehatan minyak sawit untuk pangan. “Selain itu, Indonesia juga menghadapi hambatan perdagangan sawit di Uni Eropa dengan hadirnya EUDR,” tambah Farid.
Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menjelaskan bahwa EUDR ini memang regulasi yang membuat perubahan signifikan perdagangan ekspor sawit kita di Uni Eropa. Sebelumnya ada hambatan melalui RED II yang menghambat konsumsi sawit untuk sektor biofuel.
“Tetapi dengan adanya EUDR ini bukan hanya sektor energi yang dihambat, tetapi juga sektor pangan. Jadi EUDR ini sangat luas dampaknya kepada sektor food, energi, dan industri,” jelas Fadhil.
Sebelum EUDR diberlakukan, dikatakan Fadhil, ekspor dari Indonesia dan Malaysia turun signifikan ke Uni Eropa semenjak 2017. Indonesia pernah mengekspor produk sawit secara total 5,5 juta ton. Namun turun menjadi 3,7 juta ton pada 2022.
“Padahal, konsumsi minyak nabati di Uni Eropa tumbuh 4,3%. Yang terjadi sekarang, kalau sebelumnya lebih banyak menggunakan sawit. Sekarang Eropa beralih kepada minyak nabati yang diproduksi di negaranya. Ini terjadi setelah adanya hambatan kepada sawit. Restriksi perdagangan terjadi akibat adanya persaingan dengan minyak nabati lain,” ungkap Fadhil.
Sebagai antisipasi hambatan dagang terhadap produk kelapa sawit, pemerintah telah meningkatkan konsumsi sawit di dalam negeri melalui serangkaian kebijakan seperti biodiesel dan produk minyak merah.
Kepala Divisi Kemitraan UKMK Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Helmi Muhansyah menjelaskan bahwa lembaganya berupaya memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat salah satunya melalui pemberdayaan kemitraan UKMK (Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi).
“Kami melakukan promosi untuk meningkatkan imej produk kelapa sawit dan memperluas pasar kelapa sawit. Kegiatan promosi ini bagian tugas BPDPKS sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Perpres 61 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit,” ujarnya.
Selain itu, dikatakan Helmi Muhansyah, program riset sawit yang dibiayai BPDPKS juga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pelaku UKMK. “Jadi ini riset tidak hanya sebatas ada di jurnal melainkan dapat diimplementasikan oleh UKMK yang akan menghasilkan produk berbasis sawit,” kata Helmi.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia Darmono Taniwiryono, menjelaskan bahwa minyak sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan UKMK di bidang pangan. Sebab, minyak sawit ini memiliki keunggulan dari kandungan vitamin A dan E yang bermanfaat sebagai antioksidan.
“Tingginya kandungan vitamin A dan E sawit ini dapat membantu pemerintah untuk mengatasi stunting. Salah satunya menggunakan virgin palm oil yang disandingkan dengan makanan lain antara lain kue kering, kue basah, sayuran bumbu kari,” pungkas Darmono. (SDR)