JAKARTA – Minyak sawit merupakan sumber energi, mudah dicerna dan diserap, meningkatkan cita rasa, serta mengandung zat-zat gizi yang sangat penting sehingga banyak dikonsumsi di berbagai belahan dunia (Calloway and Kurtz, 1956).
Minyak sawit merupakan minyak makan yang aman dan telah lama (lebih dari ribuan tahun) diakui dan dinikmati oleh masyarakat dunia (Cottrel, 1991). Minyak sawit dikonsumsi secara meluas sebagai minyak goreng, margarin, hingga shortening, baik pada level rumah tangga maupun industri pangan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, konsumsi minyak sawit bukan hanya meningkat, tetapi juga semakin meluas ke seluruh belahan dunia. Data Oil World (2017) mencatat, hampir semua masyarakat dunia telah mengonsumsi minyak sawit dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Sawit Diusulkan Masuk Program Makan Bergizi Gratis Pemerintah
Peningkatan konsumsi minyak sawit secara global tersebut khususnya setelah tahun 2005 yang mengalahkan minyak nabati lainnya, tampaknya memicu intensifnya kampanye negatif/hitam pada minyak sawit (PASPI, 2017). Konsumsi minyak sawit dunia yang tergolong cepat dan meluas tersebut, juga berkaitan dengan keunggulan nilai gizi yang dimiliki oleh minyak sawit.
PASPI (2017) dalam studi literatur berjudul Keunggulan Gizi Minyak Sawit dan Tuduhan Pemicu Kanker? berikut menyajikan hasil riset sejumlah ahli-ahli gizi dunia yang mengungkapkan berbagai keunggulan dari minyak goreng sawit dibandingkan minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak zaitun, dan lain-lain.
Pertama, sebagaimana hasil-hasil penelitian ahli gizi (Cottrel, 1991; Muhilal 1998; Muchtadi, 1998; Haryadi, 2010; Giriwono dan Nuri Andarwulan, 2016) diketahui bahwa minyak goreng sawit memiliki komposisi asam lemak yang seimbang, yakni 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemah tak jenuh. Sehingga lebih stabil, tidak mudah tengik, dan tidak menghasilkan radikal bebas pemicu kanker.
Baca Juga: Lumpur Sawit Tingkatkan Antioksidan dan Rendahkan Kolesterol Telur Ayam
Komposisi ideal yang demikian tidak dimiliki minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak zaitun, di mana mengandung dominan (85-90%) asam lemak tak jenuh dan tidak stabil.
Minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak jenuh dengan proporsi yang seimbang. Komposisi asam lemak sawit terdiri dari sekitar 40% asam oleate (asam lemak tidak jenuh), 10% asam linoleate (asam lemak tidak jenuh ganda), 44% asam palminat (asam lemak jenuh), dan 4,5% asam stearate (asam lemak jenuh).
Jadi secara umum minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan proporsi yang seimbang. Komposisi asam lemak tersebut lebih baik daripada minyak nabati lain (Wood et.al, 1993; Ng, T.K.W et.al, 1992; Hayes and Khosla 1995; Choudhury and Truswell, 1995).
Baca Juga: Minyak Sawit Merah Sebagai Suplemen Makanan
Kedua, dalam proses pembuatan minyak goreng sawit, tidak perlu lagi melakukan proses hidrogenisasi karena minyak sawit sudah stabil. Sementara dalam proses pembuatan minyak goreng kedelai, bunga matahari, rapeseed, dan zaitun, banyak melakukan proses hidrogenisasi agar menjadi lebih stabil.
Namun proses ini justru menghasilkan senyawa baru berupa asam lemak trans yang potensial memicu kanker, obesitas, jantung koroner, dan alzheimer (Haryadi, 2010; Giriwono dan Nuri Andarwulan, 2016).
Minyak sawit tidak mengandung asam lemak trans. Komposisi asam lemak minyak sawit menyebabkan minyak sawit bersifat semisolid, dengan titik leleh berkisar antara 33 derajat celcius sampai 39 derajat celcius.
Karakteristik leleh yang demikian ini menyebabkan minyak sawit bisa digunakan untuk berbagai formulasi dalam bentuk alamiahnya tanpa perlu proses hidrogenisasi (Haryadi, 2010; Giriwono, 2016).
Dijelaskan PASPI (2017), proses hidrogenisasi (terutama hidrogenisasi parsial) untuk tujuan meningkatkan kepadatan suatu minyak, juga akan menyebabkan terjadinya perubahan konfigurasi asam lemak tak jenuh dari cic ke trans.
Klarifikasi jenuh dan tak jenuh sangat berpotensi misleading, karena tidak semua asam lemak jenuh mempunyai konfigurasi yang sama. Secara alami, asam lemak tak jenuh yang alami mempunyai konfigurasi cis.
Akan tetapi, proses hidrogenasi khususnya hidrogenasi parsial akan menyebabkan terjadinya perubahan konfigurasi asam lemak tidak jenuh dari cis ke trans. Kandungan asam lemak tak jenuh trans pada minyak kedelai yang mengalami hidrogenisasi bisa mencapai angka 13-30%.
Ketiga, minyak sawit mengandung senyawa anti-kanker yang sangat tinggi yakni vitamin A (beta karotine) dan vitamin E. Minyak sawit mengandung vitamin E yang paling tinggi dibandingkan minyak nabati lain.
Kandungan vitamin E pada minyak sawit mencapai 1172 ppm, lebih tinggi daripada kandungan vitamin E minyak kedelai (958 ppm), minyak biji bunga matahari (546 ppm), minyak jagung (782 ppm), dan seterusnya (Slover, 1971; Gunstone, 1986; Palm Oil Human Nutrition, 1989).
Vitamin E ini bermanfaat sebagai antioksidan alami dan memproteksi sel dari proses penuan dini (cellular aging) atherosclerosis dan cancer (Walton and Packer, 1980; Hirai et.al, 1982; Cross, 1987; Elson and Qureshi, 1995). Selain mengandung vitamin E yang tinggi, minyak sawit juga mengandung vitamin A yang juga relatif tinggi dibandingkan bahan pangan lainnya.
Minyak sawit mengandung vitamin A sekitar 5000-6700 µg per 100 gram, yakni 12 kali lebih tinggi daripada kandungan vitamin A dari wortel atau 300 kali dari kandungan vitamin A jeruk. Kandungan vitamin A minyak sawit merah lebih tinggi daripada kandungan vitamin A dari bahan-bahan makanan yang dianggap sebagai sumber vitamin A seperti jeruk, wortel, pisang, dan lain-lain (Haryadi, 2010).
Vitamin A dan E tersebut serta asam lemak esensial (oleate, linoleate, stearate) telah banyak dibuktikan para ahli kesehatan dan gizi yang bermanfaat bagi pencegahan kanker/tumor, pencegahan buta senja, peningkatan daya tahan tubuh, mencegah penyakit jantung dan pembuluh darah, dan lain-lain.
Ketiga hal di atas sangatlah jelas bahwa baik dari segi komposisi asam lemak hingga proses pembuatan dan kandungan vitamin A dan E, minyak sawit merupakan minyak nabati yang bukan hanya menyehatkan, tetapi juga membantu mengatasi berbagai macam penyakit termasuk kanker. Sebaliknya minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, rapeseed, zaitun justru memiliki potensi memicu kanker dan penyakit lainnya.
Hal ini dikarenakan komposisi asam lemak yang tidak seimbang dan tidak stabil, serta proses hidrogenisasi dalam pembuatannya yang berpotensi menimbulkan radikal bebas pemicu kanker (PASPI, 2017). (ANG)