JAKARTA – Peran sektor perkebunan kelapa sawit semakin penting. Tak hanya sebagai penopang ekonomi bangsa, perkebunan kelapa sawit juga terbukti meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, termasuk lapangan kerja untuk perempuan.
Dalam satu dekade terakhir, pekerja perempuan di industri sawit mendapat perhatian luas. Karena tidak sedikit yang menuding bahwa sawit Indonesia melakukan pelanggaran dan melakukan eksploitasi terhadap perempuan. Ini merupakan bentuk kampanye negatif terhadap sawit.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkolaborasi dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menepis tudingan ini. Salah satunya dengan menggelar sosialisasi dan workshop perlindungan pekerja perempuan sawit di Riau, Kamis (7/9/23).
Ketua GAPKI Riau Licwan Hartono mengatakan kegiatan ini merupakan upaya GAPKI bersama BPDPKS dalam mewujudkan industri kelapa sawit berkelanjutan dalam hal perlindungan terhadap pekerja, khususnya perempuan. Hal ini juga sebagai lanjutan dari penyusunan buku Panduan Praktis Perlindungan Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit yang telah diluncurkan pada tahun 2021.
Kegiatan ini juga sebagai upaya mendorong implementasi panduan tersebut agar dapat menjadi rujukan bagi semua pelaku industri sawit untuk mewujudkan industri sawit berkelanjutan, yang ramah bagi pekerja perempuan. “Kegiatan ini juga merupakan bagian dari kolaborasi GAPKI dan ILO melalui proyek Advancing Workers Rights in Indonesia’s Palm Oil Sector,” kata Licwan Hartono.
Pekerja pekerja perempuan di sektor kelapa sawit, lanjut Licwan, memiliki peranan penting dalam proses produksi. Dari 16,2 juta pekerja di seluruh rantai pasok kelapa sawit, para pekerja perempuan ini terlibat pada proses pembersihan lahan, pembibitan, penyemaian, penyemprotan, perawatan dan pengumpulan brondolan.
“Selain itu pekerja perempuan ini sangat teliti dan hati-hati dalam bekerja sehingga mereka memiliki peluang besar untuk diterima bekerja di perusahan sawit,” jelas Hartono. Ia menyebutkan pekerja perempuan ini juga mendapatkan fasilitas cuma-cuma, salah satunya rumah penitipan anak selama mereka berkerja.
Senada dengan itu, Gubernur Riau yang diwakili Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Riau Imron Rosyadi menyebutkan, pihaknya sangat mendukung acara sosialisasi dan workshop perlindungan pekerja perempuan sawit ini. Menurutnya, saat ini ada beberapa kasus pengaduan ke Dinas Tenaga Kerja terkait pekerja perempuan di kebun sawit.
Pada tahun 2021, kata Imron, GAPKI bekerjasama dengan CNV Internasioanl dan Federasi Serikat Pekerja Hukatan KSBI bersama-sama menyusun buku Panduan Praktis Perlindungan Hak Pekerja Perempuaan di Perkebunan Sawit. Buku ini diharapkan dapat membantu pengusaha kelapa sawit dalam menyusun kebijakan di tingkat perusahaan.
“Ini menjadi rujukan bagi semua pelaku industri sawit untuk mewujudkan industri sawit yang ramah bagi pekerja perempuan,” kata Imron.
Imron juga menyebutkan sawit merupakan sektor terbesar bahkan mengalahkan sektor migas di Riau. Karena itu pemerintah tidak tinggal diam untuk menyelesaikan isu-isu di tengah industris sawit yang bisa membawa preseden buruk bagi industri sawit di mata dunia.
Sebelumnya, Sosialisasi dan Workshop Perlindungan Pekerja Perempuan Perkebunan Kelapa Sawit juga dilakukan di Balikpapan, Kalimantan Timur. Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi pada saat membuka acara ini mengatakan sangat penting melindungi pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit, terutama yang bekerja di perusahaan. “Mudah-mudahan teman-teman para pengusaha di GAPKI bisa terus memperhatikan ramah pekerja perempuan ini,” harap Hadi Mulyadi.
Ketua GAPKI Cabang Kaltim Muhammadsjah Djafar mengemukakan besarnya kontribusi kelapa sawit untuk devisa negara ditopang oleh sekitar 5,5 juta pekerja. “Di antara pekerja itu, peran pekerja perempuan sangat penting dalam perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.
Pekerja perempuan di kebun sawit sebutnya, bekerja di bagian pengendalian gulma, penyemprotan material kimia hingga memungut brondolan dari buah yang dipanen.
“Perlindungan hak-hak pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit sudah menjadi keniscayaan. Dan kondisi ini diharapkan mampu mendorong industri sawit yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan sosial pekerja,” tambahnya.
Sebelumnya GAPKI telah menyusun dan menerbitkan Panduan Praktis Perlindungan Hak Pekerja Perempuaan di Perkebunan Sawit. Ini buah kerja bersama antara pengusaha dan buruh.
“Hukum nasional kita sangat melindungi pekerja termasuk perempuan. Jadi praktik eksploitasi pekerja (termasuk perempuan) adalah pelanggaran hukum. GAPKI terus berupaya mendorong kepatuhan. Salah satunya adalah target 100% anggota GAPKI mendapat sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil),” kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, Sumarjono Saragih.
Lebih lanjut Sumarjono mengatakan, upaya kampanye negatif/hitam memang tak pernah mereda. Dapat dipahami karena sawit sebagai sektor besar dan strategis. Dari sisi perdagangan, menjadi ancaman (kompetitor) minyak nabati yang mayoritas dihasilkan negara barat.
GAPKI sebagai organisasi pengusaha berkolaborasi dengan serikat buruh nasional (HUKATAN) dan serikat buruh Eropa-Belanda (CNV).
Diharapkan isi panduan ini akan lengkap dan menjawab kebutuhan bersama. Juga ada rasa memiliki dan ikatan moral emosional yang akhirnya memunculkan kesadaran kepatuhan bersama, antara buruh dan pengusaha. “Tugas kita sekarang bagaimana membuat para perempuan bangga bekerja di sawit, bangga menjadi bagian industri sawit yang berkelanjutan,” tambahnya.
Menurut Sumarjono, buku ini berisi delapan panduan praktis dan praktik baik meliputi komitmen, organisasi, kerjasama, komunitas, perwakilan perempuan, fasilitas kesehatan, fasilitas pemulihan dan fasilitas penitipan anak. “Dari hasil riset ini diharapkan berkembang menjadi praktik yang baik, kemudian jadi hukum nasional dan akhirnya jadi praktik global,” katanya.
Proyek percontohan berupa Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan yang pertama untuk sawit sudah dilaksanakan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Proyek percontohan ini dilakukan oleh perusahaan anggota GAPKI yaitu PT Hindoli pada 7 Agustus 2021. Dia mengharapkan di setiap provinsi sawit ada proyek serupa sebagai contoh praktik yang baik.
Sumarjono mengatakan tantangan penerapannya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit anggota GAPKI sebanyak 697 perusahaan dengan total luas lahan hanya 22% dari total luas kebun kelapa sawit yang mencapai 16,3 juta ha.
“Sedangkan perusahaan nonanggota GAPKI lebih banyak 36% dan petani 41%. Bagaimana penerapan panduan ini di perusahaan nonanggota dan petani dengan karateristiknya masing-masing? Ini yang masih harus ditingkatkan,” katanya.
Pekerja di perusahaan kelapa sawit baik anggota maupun nonanggota GAPKI merupakan pekerja formal yang mengikuti aturan ketenagakerjaan. Sedangkan pekerja di petani dan rantai pasok (sopir, buruh lepas dan lain-lain) merupakan pekerja nonformal.
“Semua pekerja harus terlindungi. Pada ujungnya semuanya baik perusahaan maupun pekebun harus bersertifikat ISPO yang di dalamnya ada perlindungan pekerja,” ujarnya.
Ketua Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia Narno mengatakan di perkebunan kelapa sawit rakyat yang sudah bersertifikat ISPO dan RSPO ada perlindungan bagi seluruh pekerja, termasuk pekerja perempuan.
Ada standar prosedur operasional (SOP) khusus untuk perlindungan pekerja, akses kesehatan disediakan oleh kelompok, ada prosedur internal berupa pemberian cuti bagi perempuan hamil dan menyusui, tersedia pelatihan berkala bagi pekerja perempuan.
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan pada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Yuli Adirata mengatakan, pihaknya terus melakukan pengawasan di lapangan.
“Pengawasan perlu dilakukan untuk memastikan penerapan perundang-undangan ketenagakerjaan di perusahaan (tempat bekerja). Kemudian kita perlu meyakinkan perusahaan agar mematuhi undang-undang ketenagakerjaan, melalui langkah-langkah yang telah kita tentukan,” ujarnya.
Khusus pekerja perempuan, pihaknya pastikan perusahaan menerapkan aturan istirahat haid jika ada keluhan sakit saat haid bagi pekerja perempuan. Kemudian ada istirahat sebelum dan sesudah melahirkan selama 3 bulan dan istirahat gugur kandungan selama 1,5 bulan sesuai dengan surat keterangan dari dokter.
“Kita pastikan juga perusahaan harus memberikan kesempatan bagi pekerja perempuan untuk menyusui anaknya. Artinya menyediakan tempat menyusui atau untuk memeras susu dan yang paling penting menjamin perlindungan untuk mencegah aksi kekerasan dan pelecehan terhadap pekerja perempuan,” katanya. (SDR)